﴿ الْبَابُ الْعَاشِرُ ﴾
Keluarga Nabi Muhamad SAW
وَسَـبْـعَةٌ أَوْلاَدُهُ
فَمِـنْـهُمُ * ثَلاثَـةٌ مِـنَ الذُّكـُوْرِ تُـفْهَمُ
Ada 7 orang putera-puteri nabi Muhammad,
diantara mereka 3 orang laki-laki, maka pahamilah itu
قَاسِـمْ وَعَبْدُ اللهِ
وَهْوَ الطَّيِّبُ * وَطَاهِـرٌ بِذَيْـنِ ذَا يُـلَـقَّبُ
Qasim dan Abdullah yang bergelar At-Thoyyib dan
At-Thohir, dengan 2 sebutan inilah (At-Thoyyib dan At-Thohir) Abdullah diberi
gelar
أَتَاهُ إبْرَاهِـيْـمُ مِنْ
سُـرِّيـَّهْ * فَأُمُّـهُ مَارِيَّةُ الْـقِـبْـطِـيَّـهْ
Anak yang ketiga bernama Ibrohim dari Sariyyah
(Amat perempuan), ibunya (Ibrohim) bernama Mariyah Al-Qibtiyyah
Selain Ibrohim, ibu putera-puteri Nabi Muhammad
berasal dari Khodijah, mereka ada 6 orang (selain Ibrohim), maka kenalilah
dengan penuh cinta
وَأَرْبَعٌ مِـنَ اْلإِنَاثِ تُـذْكَـرُ * رِضْـوَانُ رَبِّي
لِلْجَمِـيْعِ يُذْكَرُ |
Dan 4 orang anak perempuan Nabi akan
disebutkan, semoga keridhoan Allah untuk mereka semua |
فَاطِـمَـةُ الزَّهْرَاءُ بَعْلُهَا عَلِيْ * وَابْنَاهُمَا
السِّـبْطَانِ فَضْلُهُمُ جَلِيْ |
Fatimah Az-Zahro yang bersuamikan Ali bin Abi
Tholib, dan kedua putera mereka (Hasan dan Husein) adalah cucu Nabi yang
sudah jelas keutamaanya |
فَزَيْـنَبٌ وَبَعْـدَهَـا رُقَـيَّهْ * وَأُمُّ كُـلْـثُـومٍ زَكَـتْ
رَضِيَّهْ |
Kemudian Zaenab dan selanjutnya Ruqayyah, dan
Ummu Kultsum yang suci lagi diridhoi |
Penjelasan Nadhom
Semua orang mukalaf sangat dianjurkan mengetahui putera-puteri nabi
Muhamad SAW yang jumlahnya 7. Laki-laki 3 orang dan perempuan 4 orang. Adapun
urutannya ialah:
1. Sayid Qosim
2. Sayidah Zainab
3. Sayidah Ruqoyah
4. Sayidah Ummu Kultsum
5. Sayidah Fathimah
6. Sayid Abdullah
7. Sayid Ibrahim
& Putera-puteri
Nabi Muhamad SAW
Sayid Abdullah mendapat julukan Thoyib Thohir. Semua putera-puteri nabi
tersebut merupakan anak dari Siti Khodijah kecuali Sayid Ibrahim yang merupakan
putera dari Siti Mariyah Qibtiyah.
1. Al-Qosim bin Muhammad
Ia merupakan putra pertama Rasulullah SAW dan beliau dijuluki dengan
Abul Qosim, ia hidup hingga mampu berjalan kemudian meninggal dunia dalam usia
2 tahun.
Tidak boleh orang berkunyah ‘Abul Qosim’ berdasarkan Hadits Rasulullah
shollahu’alaihiwasallam, “Hendaklah kalian bernama dengan nama-namaku tetapi
jangan berkunyah dengan kunyahku (Abul Qosim).”[1]
Ibnul
Qoyyim mengatakan, “Pendapat yang benar bernama dengan nama Nabi itu
diperbolehkan. Sedangkan berkunyah dengan kunyah
Nabi itu terlarang. Berkunyah dengan kunyah Nabi saat beliau masih hidup itu
terlarang lagi. Terkumpulnya nama dan kunyah Nabi pada diri seseorang juga
terlarang.”[2]
2. Zainab binti Muhammad (Wafat 8 H)
Zainab adalah putri tertua Rasulullah. Rasulullah telah menikahkannya
dengan sepupu beliau, yaitu Abul ‘Ash bin Rabi’ sebelum beliau diangkat menjadi
Nabi, atau ketika Islam belum tersebar di tengah-tengah mereka. lbu Abul ‘Ash
adalah Halah binti Khuwaylid, bibi Zainab dari pihak ibu. Dari pernikahannya
dengan Abul ‘Ash mereka mempunyai dua orang anak: Ali dan Umamah. Ali meninggal
ketika masih kanak-kanak dan Umamah tumbuh dewasa dan kemudian menikah dengan
Ali bin Abi Thalib. setelah wafatnya Fatimah.
Setelah berumah tangga, Zainab tinggal bersama Abul ‘Ash bin Rabi’
suaminya. Hingga pada suatu ketika, pada saat suaminya pergi bekerja, Zainab
mengunjungi ibunya. Dan ia dapatkan keluarganya telah mendapatkan suatu karunia
dengan diangkatnya, ayahnya, Muhammad menjadi Nabi akhir jaman.
Zainab mendengarkan keterangan tentang Islam dari ibunya, Khadijah.
Keterangan ini membuat hatinya lembut dan menerima hidayah Islam. Dan
keislamannya ini ia pegang dengan teguh, walaupun ia belum menerangkan
keislamannya kepada suaminya, Abul ‘Ash.
3. Ruqayyah binti Rasulullah (Wafat 2 Hijriyah)
Ruqayyah telah menikah dengan Utbah bin Abu lahab sebelum masa kenabian.
Sebenarnya hal itu sangat tidak disukai oleh Khadijah.. Karena ia telah
mengenal perilaku ibu Utbah, yaitu Ummu jamil binti Harb, yang terkenal
berperangai buruk dan jahat. Ia khawatir putrinya akan memperoleh sifat-sifat
buruk dari ibu mertuanya tersebut.
Dan ketika Rasulullah telah diangkat menjadi Nabi, maka Abu Lahablah,
orang yang paling memusuhi Rasulullah dan Islam. Abu Lahab telah banyak
menghasut orang-orang Mekkah agar memusuhi Nabi dan para sahabat
Begitu pula istrinya, Ummu Jamil yang senantiasa berusaha mencelakakan
Rasulullah dan memfitnahnya. Atas perilaku Abu lahab dan permusuhannya yang
keras terhadap Rasulullah, maka Allah telah menurunkan wahyu-Nya, ‘Maka
celakalah kedua tangan Abu lahab, (Al lahab: ayat 1)
Setelah ayat ini turun, maka Abu lahab berkata kepada kedua orang
putranya, Utbah dan Utaibah, ‘Kepalaku tidak halal bagi kepalamu selama kamu
tidak menceraikan Putri Muhammad.’ Atas perintah bapaknya itu, maka Utbah
menceraikan istrinya tanpa alasan. Setelah bercerai dengan Utbah, kemudian
Ruqayyah dinikahkan oleh Rasulullah dengan Utsman bin Affan.
4. Ummu Kultsum binti Rasulullah (Wafat 9 Hijriyah)
Ummu Kultsum adalah adik Ruqayyah, putri Rasulullah . Ia telah menikah
dengan Utaibah bin Abu Lahab, saudara Utbah yang telah menikahi Ruqayyah,
sebelum mereka mengenal Islam. Lalu ketika Rasulullah telah diangkat menjadi
Nabi, ia dan saudara-saudaranya memeluk Islam dengan lapang dada.
Dan dakwah Nabi yang selalu ditentang oleh Abu lahab beserta keluarganya
ini, menyebabkan Allah telah mewahyukan kepada Nabi firman-Nya yang berbunyi,
'Maka celakalah kedua tangan Abu lahab’(Al-lahab: 1) ‘
Setelah turun ayat ini, Abu lahab berkata kepads Utaibah anaknya,
'Kepalaku tidak halal bagi kepalamu selama kamu tidak menceraikan putri Nabi.'
Maka dia pun menceraikan istrinya, Ummu Kultsum begitu saja. Utaibah mendatangi
Nabi dan mengatakan kata-kata yang menyakitkan hati Rasulullah.
Atas periakuan itu, maka Rasulullah telah berdoa kepada Allah, agar
mengirimkan anjing-anjing-Nya untuk membinasakan Utaibah. Dan apa yang telah
didoakan oleh Nabi terhadap Utaibah itu benar-benar teriadi.
5. Fathimah binti Rasulullah (Wafat 11 Hijriyah)
Pemimpin wanita pada masanya ini adalah putri ke 4 dari anak anak
Rasulullah SAW, dan ibunya adalah Khadijah binti Khuwalid. Allah SWT
menghendaki kelahiran Fathimah yang mendekati tahun ke 5 sebelum Muhammad
diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar yaitu ditunjuknya
Rasulullah sebagai menengah ketika terjadi perselisihan antara suku
Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad setelah Ka’abah
diperbaharui. Dengan kecerdasan akalnya beliau mampu memecahkan persoalan yang
hampir menjadikan peperangan diantara kabilah-kabilah yang ada di Makkah.
Kelahiran Fahimah disambut gembira oleh Rasulullahu alaihi wassalam
dengan memberikan nama Fathimah dan julakannya Az-Zahra, sedangkan kunyahnya
adalah Ummu Abiha (Ibu dari bapaknya).
Ia putri yang mirip dengan ayahnya, Ia tumbuh dewasa dan ketika
menginjak usia 5 tahun terjadi peristiwa besar terhadap ayahnya yaitu turunnya
wahyu dan tugas berat yang diemban oleh ayahnya. Dan ia juga menyaksikan kaum
kafir melancarkan gangguan kepada ayahnya.sampai cobaan yang berat dengan
meninggal ibunya Khadijah. Ia sangat sedih dengan kematian ibunya.
6. Abdullah bin Muhammad
Ada yang menyebutkan bahwa ia dilahirkan pada masa keislaman. Namun ada
pula yang menyebutkan bahwa itu sebelum masa keislaman, lalu ia meninggal dunia
dalam usia yang masih kecil. Ia merupakan putra terakhir Nabi dari Khadijah.
Abdullah wafat di tahun 615 M.
7. Ibrahim bin Muhammad
Ibrahim merupakan anak bungsu dari Nabi Muhammad SAW dengan istrinya
Maria al Qibthiya. Cinta kasih Nabi Muhammad SAW kian mendalam, bukan maksud
disiapkan menjadi penggantinya setelah kehilangan kedua putranya, Qasim dan
Abdullah. Bahkan Rasulullah tidak memikirkan anak atau siapa yang akan
mewarisinya.
Namun, Ibrahim pun hidup tak berlangsung lama. Nabi Muhammad SAW tampak
sedih atas kematian putranya tersebut. Beliau pun bersabda, "Ibrahim, kami
tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah SWT."
Kaum Muslimin pun banyak yang turut berduka-cita atas meninggalnya
Ibrahim. Nabi Muhammad SAW pun bersabda,
"Aku tidak melarang orang berduka cita, tapi yang kularang menangis
dengan suara keras. Apa yang kamu lihat dalam diriku sekarang adalah pengaruh
cinta kasih di dalam hati. Orang yang tiada menunjukkan kasih sayang, maka
orang lain pun tidak akan menunjukkan kasih sayang kepadanya."
.........................................
عَنْ تِسْعِ نِسْوَةٍ وَفَاةُ الْمُصْطَفَى * خُيِّـرْنَ فَاخْتَرْنَ
النَّـبِيَّ الْمُقْتَفَى
Dari 9 istri Nabi ditinggalkan setelah wafatnya,
mereka semua telah diminta memilih syurga atu dunia, maka mereka memilih nabi
sebagai panutan
عَائِشَـةٌ وَحَفْصَـةٌ وَسَـوْدَةُ * صَـفِيَّـةٌ مَـيْـمُـوْنَةٌ وَ
رَمْلَةُ
Aisyah, Hafshah, dan Saudah, Shofiyyah,
Maimunah, dan Romlah
هِنْدٌ وَ زَيْـنَبٌ كَذَا جُوَيـْرِيَهْ * لِلْمُـؤْمِـنِيْنَ أُمَّـهَاتٌ
مَرْضِـيَّهْ
Hindun dan Zaenab, begitu pula Juwairiyyah, Bagi
kaum Mu’minin mereka menjadi ibu-ibu yang diridhoi
Penjelasan Nadhom
Istri nabi Muhamad SAW jumlahnya ada 11 orang. Ketika nabi Muhamad SAW
wafat, beliau meninggalkan 9 orang istri. Mereka pernah disuruh memilih oleh
nab, antara kesenangan dunia atau kesenangan akhirat. Kesemuanya lebih memilih
kesenangan akhirat. Artinya, mereka memilih untuk mengikuti setiap perilaku
nabi Muhamad SAW.
Adapun 9 orang istri tersebut ialah:
1. Siti Aisyah
2. Siti Hafsah
3. Siti Saudah
4. Siti Shofiyah
5. Siti Maimunah
6. Siti Romlah
7. Siti Hindun
8. Siti Zainab
9. Siti Ruqoyah
Mereka semua disebut Ummul Mukminin. Artinya menjadi ibunya seluruh
orang mukmin yang harus dihormati dan dimulyakan serta tidak halal dinikahi.
& Istri-istri
Nabi Muhamad SAW
Salah satu aturan syariat yang hanya berlaku untuk Rasulullah SAW,
beliau diizinkan untuk menikahi lebih dari 4 wanita. Setiap orang yang memahami
sejarah dakwah Nabi SAW dengan benar, akan berkesimpulan, pernikahan
yang beliau lakukan sangat sarat dengan tujuan yang mendukung dakwah.
Beliau pernah melangsungkan akad nikah dengan 13 wanita. Dua diantaranya
meninggal sebelum beliau: Khadijah dan Zainab bintu Khuzaimah. Dua istri beliau
belum dikumpuli, yang ini tidak kita bahas. Sisanya, sembilan istri beliau
lainnya yang bertahan hingga beliau wafat.
Pembahasan kita arahkan untuk 11 ummahatul mukminin, para
istri Rasulullah SAW, yang membangun keluarga bersama beliau:[3]
1. Khadijah
binti Khuwailid RA
Ayahnya: Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza. Dia adalah kakeknya Zubair
bin Awwam. Ibunya: Fatimah bintu Zaidah bin Al-Asham. Dia adalah bibi sahabat
Ibnu ummi Maktum.
Ahli sejarah berbeda pendapat, apakah khadijah menikah dengan Nabi
SAW dalam keadaan janda, ataukah masih gadis. Ada sebagian yang
mengisyaratkan bahwa Khadijah masih gadis.[4]
Ulama berbeda pendapat tentang usia khadijah ketika menikah dengan
Rasulullah SAW. Keterangan yang sering kita dengar, beliau menikah dengan
Nabi SAW di usia 40 tahun. Berdasarkan riwayat yang disebutkan oleh
Ibnu Sa’d, dari Al-Waqidi.
Dalam riwayat itu dinyatakan:
“Rasulullah SAW menikahinya (Khadijah) ketika beliau berusia 25 tahun,
sementara Khadijah berusia 40 tahun.”[5]
Akan teteapi dalam riwayat Al-Hakim dengan sanadnya, dari Muhammad Ibnu
Ishaq, beliau menyatakan:
“Pada hari pernikahannya (Khadijah), beliau berusia 28 tahun.”[6]
Kemudian dalam Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir mengatakan
“Dinukil oleh Al-Baihaqi dari Al-Hakim bahwa usia
Rasulullah SAW ketika menikah dengan Khadijah adalah 25 tahun,
sedangkan usia Khadijah ketika itu adalah 35 tahun, ada juga yang mengatakan,
25 tahun…”[7]
Allahu a’lam, tidak ada acuan yang cukup
menenangkan dan meyakinkan dalam hal ini, karena itu kita tidak perlu terlalu
mendalami. Lebih dari itu, orang tidak jadi sesat gara-gara salah dalam
menentukan tahun pernikahan Khadijah.
Khadijah merupakan istri pertama Rasulullah SAW. dan selama beliau
bersama Khadijah, beliau SAW tidak berpoligami sampai Khadijah
meninggal. Dan semua putra Rasulullah SAW berasal dari pernikahannya
dengan Khadijah, termasuk diantaranya Fatimah istri Ali bin Abi Thalib, putri
bungsu dari Khadijah. Kecuali satu, Ibrahim. Ibrahim berasal dari ibu Mariyah
Al-Qibthiyah.
Rasulullah SAW pernah memuji beberapa wanita, di antaranya
khadijah,
حَسْبُكَ مِنْ نِسَاءِ
العَالَمِينَ: مَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ، وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ،
وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ
“Cukup bagimu 4 wanita pemimpin dunia: Maryam bintu Imran (Ibunda nabi
Isa), Khadijah bintu Khuwailid, Fatimah bintu Muhammad, dan Asiyah Istri
Fir’aun.”[8]
Rasulullah SAW sering menyebut nama Khadijah, sampai
A’isyah RA mengatakan tentang Khadijah,
“Aku tidak pernah cemburu terhadap semua istri
Nabi SAW sebagaimana aku cemburu kepada Khadijah. Beliau meninggal
sebelum Rasulullah SAW menikahiku, namun aku sering mendengar beliau
menyebut-nyebut Khadijah”.
2. Saudah binti Zam’ah
bin Qois radhiyallahu ‘anha
Ayahnya: Zam’ah bin Qois bin Abdi Wud
Ibunya: As-Syamus bintu Qois bin Amr. Secara nasab, ibunya merupakan
sepupu Abdul Muthalib dari jalur ibu. Sehingga Saudah dengan Abdullah (ayah
Nabi) adalah sepupu kedua (mindoan).
Sebelumnya, Saudah menikah sepupunya, Sakran bin Amr. Beliau masuk islam
bersama suaminya dan ikut hijrah ke habasyah. Sepeninggal Sakran, Saudah
menjadi janda tanpa keluarga yang melindunginya. Sampai akhirnya dinikahi
Rasulullah SAW, di usia yang sudah cukup tua. Ketika itu, Saudah telah
memiliki 6 putra.
Rasulullah SAW menikahinya di bulan Syawal tahun 10 kenabian (sekitar 3
tahun sebelum hijrah), sebulan sepeninggal Khadijah RA.[9]
Ketika sudah cukup tua, Saudah menyerahkan jatah gilir malamnya untuk
Aisyah. Dengan harapan, Saudah bisa tetap menjadi istri Rasulullah SAW
sampai meninggal, sehingga bisa menemani beliau di surga. Terkait peristiwa
ini, Allah menurunkan firman-Nya di surat An-Nisa ayat 128.
Saudah meninggal di Madinah tahun 54 H.[10]
3. Aisyah
bintu Abi Bakr As-Shiddiq RA.
Beliau dilahirkan 4 tahun sebelum Nabi SAW diutus. Ayahnya
seorang As-Shiddiq yang banyak menemani perjuangan dakwah Rasulullah SAW.
Ibunya bernama Ummu Ruman bintu Amir bin Uwaimir.
Rasulullah SAW menikahi A’isyah di bulan syawal tahun 11 setelah
kenabian. Dua tahun 5 bulan sebelum hijrah dan setahun setelah beliau menikahi
Saudah.[11]
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang usia Aisyah ketika menikah
dengan Rasulullah SAW. Pendapat yang makruf, beliau menikah di usia 6
tahun, dan baru kumpul di usia 9 tahun. Sebagaiaman keterangan Aisyah sendiri
tentang dirinya,
“Nabi SAW menikahiku ketika aku berusia 6 tahun. Dan beliau kumpul
bersamaku ketika aku berusia 9 tahun”.[12]
Namun keterangan A’isyah ini dipertanyakan. Karena beliau menyampaikan
keterangan ini setelah di usia cukup tua dan ketika itu angka tahun kurang
diperhatikan. Karena itulah ada sebagian ulama yang membandingkannya dengan
usia Asma (saudari Aisyah). Ibnu Hajar menegaskan selisih usia Asma dengan
Aisyah adalah 10 tahun lebih tua.
Sementara Abu Nuaim meriwayatkan bahwa usia Asma ketika hijrah ke
Madinah 27 tahun. Artinya, ketika hijrah, Aisyah berusia 17 tahun.Adajuga yang
mengatakan, Rasulullah SAW menikahi Aisyah di usia 13 tahun, dan baru
kumpul di usia lebih dari itu.
Beliaulah satu-satunya istri Rasulullah SAW yang dinikahi
dalam kondisi masih gadis.[13] Rasulullah SAW
menikahi Aisyah di usia muda, atas perintah Allah melalui mimpi beliau. Dan
mimpi nabi adalah wahyu.
Aisyah, wanita yang berakhlak mulia dan sangat cerdas. Sebagian ulama
mengatakan, Aisyah adalah wanita yang paling paham tentang ajaran
Muhammad SAW di seluruh dunia. Karena jasa besar Aisyah, kita bisa
mengetahui banyak sunah di rumah tangga Rasulullah SAW. Beliau meriwayatkan
sekitar 2210 hadis, 316 diantaranya terdapat dalam shahih Bukhari & Muslim.
Terkait Aisyah, Allah menurunkan firman-Nya di surat An-Nur. Allah
membersihkan nama baik Aisyah dari tuduhan orang munafik bahwa beliau telah
selingkuh. Aisyah adalah wanita baik-baik yang tidak mungkin melakukan
demikian.
Beliau meninggal pada tanggal 17 Ramadhan, tahun 57 H. ada yang
mengatakan, tahun 58 H. dan jenazah beliau dimakamkan di Baqi’.
4. Hafshah
bintu Umar bin Khatab RA.
Ayahnya seorang sahabat yang luar biasa. Ibunya juga seorang sahabiyah,
namanya Zainab bintu Madz’un bin Wahb. Artinya, ibunya Hafshah adalah saudara
dari Utsman bin Madz’un, seorang sahabat mulia yang pernah ingin mengebiri
dirinya agar bisa fokus ibadah, namun Rasulullah SAW melarangnya.
Sebelumnya, Hafshah menikah dengan Khunais bin Khudzafah As-Sahmi.
Bersama suaminya, beliau masuk islam dan ikut hijrah ke Habasyah. Sahabat
Khunais bin Khudzafah pernah ikut perang Badr dan perang Uhud. Pada perang Uhud
beliau terkena luka yang mengantarkan pada kematiannya, semoga Allah meridhai
beliau.
Hafshah menjanda sepeninggal suaminya Khunais bin Khudzafah As-Sahmi
antara tahun 2 – 3 hijriyah. Sebagian ahli sejarah mengatakan, ketika itu, usia
Hafshah baru menginjak 20 tahun. Setelah selesai masa iddah, Umar sang ayah
yang bertanggung jawab, segera mencarikan suami penggantinya.
Beliau menawarkan ke Utsman, namun Utsman belum berkeinginan menikah
karena baru ditinggal mati istrinya. Umarpun menawarkan ke Abu Bakr, namun
beliau tidak menanggapinya, hingga Umarpun marah kepada Abu Bakr. Sampai
akhirnya Rasulullah meminangnya.
Setelah Hafshah dinikahi Rasulullah SAW, Abu Bakr menemui Umar dan
bertanya, ‘Apakah kamu marah dengan sikapku kemarin?’ ‘Ya.’ Jawab Umar.
Kemudian Abu Bakr menjelaskan alasannya,
“Tidak ada sebab yang membuatku tidak merespon tawaranmu, selain karena
aku telah mendengar Rasulullah SAW menyebut-nyebut Hafshah. Dan Aku tidak layak
membuka rahasia Rasulullah SAW. Jika beliau tidak berkeinginan menikahi
Hafshah, niscaya akan aku terima.”[14]
Hafshah dikenal sebagai wanita yang ahli ibadah. Sehingga beliau
disebut Shawwamah (wanita rajin puasa) dan qawwamah (wanita
rajin shalat malam). Istri Rasulullah SAW di surga.
Beliau pernah mengemban amanah yang luar biasa, menjaga mushaf yang
telah ditulis di zaman Abu Bakr dan Umar. Karena Hafshah terkenal dengan
hafalan qurannya.
Hafshah wafat di bulan Sya’ban tahun 45 H di Madinah, di usia 60 tahun
dan jenazahnya dimakamkan di Baqi. Beliau meriwayatkan sekitar 60 hadis yang
terdapat dalam shahih Bukhari & Muslim.
5. Zainab
bintu Khuzaimah RA.
Ayahnya: Khuzaimah bin Harits bin Abdullah. Ibunya: Hindun bintu Auf bin
Zuhair. Beliau dikenal sebagai ibu yang memiliki banyak menantu manusia mulia.
Diantara menantu beliau: Rasulullah SAW, Abu Bakar, Ja’far, Ali bin Abi
Thalib, Hamzah bin Abdul Muthalib, dan Abbas bin Abdul Muthalib.
Beliau bergelar Ummul Masakin, karena sangat belas kasih dengan orang
miskin dan banyak bergaul dengan mereka. Sebelumnya, beliau bersuami Abdullah
bin Jahsy RA. Kemudian Abdullah meninggal di perang Uhud.
Di tahun 4 H, Rasulullah SAW menikahinya. Namun usia
pernikahan beliau tidak lama. Setelah tiga bulan berlangsung, Zainab kembali
menuju rahmat Allah, di bulan rabiul akhir, tahun 4 H. Rasulullah SAW
menshalati jenazahnya dan beliau dimakamkan di Baqi.
6. Ummu
Salamah, Hindun bintu Abi Umayyah RA.
Ayahnya: Abu Umayyah, Hudzaifah bin Mughirah. Seorang pemuka Quraisy.
Ibunya: Atikah bintu Amir bin Rabi’ah.
Ummu Salamah, sebelumnya menjadi istri Abu Salamah RA. Bersama Abu
Salamah beliau memiliki beberapa anak. Pada tahun 4 H, kesedihan melanda
keluarganya. Abu Salamah, sang suami tercinta meninggal dunia. Namun dia tidak
hanyut dalam kesedihannya. Dia teringata pesan Nabi agar membaca satu doa
ketika tertimpa musibah,
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, ya Allah, berikanlah pahala
atas musibah yang menimpaku dan gantikanlah aku dengan yang lebih baik.”
Karena siapa yang membaca doa ini akan Allah gantikan yang lebih baik.
Ketika hendak berdoa, wanita solihah ini bergumam,
“Saya diberi ganti yang lebih baik dari pada Abu Salamah? Akupun tetap
membacanya. kemduian Allah gantikan suami untukku Muhammad SAW, dan Allah
berikan pahala untuk musibahku.”
Kemudian Rasulullah SAW menjadi pengganti Abu Salamah
untuknya.[15]
Terkenal dengan wannita cerdas, memberi saran suaminya dan mendukung
dakwah suaminya. Lebih dari itu, beliau dikenal wanita yang menawan. A’isyah
mengungkapkan isi hatinya terkait Ummu Salamah,
“Ketika Rasulullah SAW menikahi Ummu Salamah, aku sangat sedih sekali.
Karena banyak orang menyebut kecantikan Ummu Salamah. Akupun mendekatinya untuk
bisa melihatnya. Setelah aku melihatnya, demi Allah, dia jauh-jauh lebih cantik
dan lebih indah dari apa yang aku bayangkan. Akupun menceritakannya kepada
Hafshah – mereka satu kubu – kata Hafshah, “Tidak perlu cemas, demi Allah, itu
hanya karena bawaan cemburu.”[16]
Beliau meriwayat sekitar 13 hadis yang terdapat dalam shahih Bukhari
& Muslim.
Beliau wafat tahun 59 H, ada yang mengatakan, 62 H, di usia 84 tahun.
Istri Rasulullah SAW yang paling terakhir meninggal. Jenazah beliau
dimakamkan di Baqi.
7. Zainab
bintu Jahsy bin Rabab RA
Beliau masih kerabat dekat dengan Rasulullah SAW. Ibu beliau,
Umaimah bintu Abdul Muthalib adalah saudari ayah nabi, Abdullah. Sehingga
zainab adalah sepupu Rasulullah SAW.
Sebelum diutus sebagai nabi, Rasulullah memiliki anak angkat bernama
Zaid. Hingga orang menyebutnya, Zaid bin Muhammad, padahal ayah aslinya adalah
Haritsah. Aturan ketika itu, anak angkat sama dengan anak nasab, sehingga tidak
boleh menikahi mantan istri anak angkat. Sampai akhirnya Allah perintahkan agar
Zainab dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah.
Mari kita perhatikan firman Allah yang menceritkan kejadian tersebut,
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي
أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ
وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ
Artinya: “Ingatlah, ketika kamu berkata kepada orang yang Allah
telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya……” (QS.
Al-Ahzab: 37)
Pada ayat di atas, Allah menyebut sahabat Zaid dengan: ‘orang yang
Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya (dengan hidayah islam) dan kamu (juga)
telah memberi nikmat kepadanya’
Maksudnya, Zaid mendapatkan nikmat dari Allah berupa hidayah iman, dan
mendapat nikmat dari Nabi SAW karena dibebaskan dari status budak,
kemudian dididik dalam asuhannya.
Kita kembali fokus ke Zaid dan Zainab.
Sejatinya, Rasulullah SAW berkeinginan untuk menikahi Zainab, dalam
rangka menghapus anggapan jahiliyah bahwa ayah angkat tidak boleh menikahi
istri dari mantan anak angkatnya. Namun Zainab masih menjadi istri Zaid, yang
masyarakat menganggapnya anak angkat Nabi SAW. Beliau berharap agar Zaid
menceraikan Zainab, sehingga beliau bisa menikahi Zainab.
Terjadilah intieraksi yang tidak harmonis antara Zaid dengan Zainab.
Sampai akhirnya Zaid mengadu kepada Rasulullah SAW tentang istrinya.
Rasulullah-pun menasehatkan kepada Zaid seperti ayat di atas, ‘Tahanlah
terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah’ artinya, jangan kau ceraikan
istrimu Zainab dan bersabarlah, sekalipun banyak masalah keluarga. Padahal
beliau menyimpan harapan agar Zaid menceraikan Zainab.
Pada ayat di atas Allah menyatakan, ‘sedang kamu menyembunyikan di
dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya’, yang disembunyikan
Nabi SAW dalam hatinya, harapan agar Zaid menceraikan Zainab,
sehingga beliau bisa menikahi Zainab.
Hingga akhirnya, Zaid menceraikan Zainab karena masalah rumah tangganya
tidak kunjung membaik.
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ
مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ
فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا
Artinya: “Tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menceraikan isterinya..” (QS.
Al-Ahzab: 37).[17]
Ayat ini adalah ayat yang paling dibanggakan Zainab. Ketika beberapa
istri Rasulullah SAW menonjolkan kelebihannya di hadapan istri yang lain,
Zainab menampakkan dirinya dengan mengatakan,
“Kalian dinikahkan oleh orang tua kalian, sementara aku dinikahkan oleh
Allah dari atas langit yang tujuh.”[18]
Rasulullah SAW menikahi Zainab pada bulan Dzul Qa’dah tahun 5 H.
Ada yang mengatakan, tahun 6 H. Beliau dikenal wanita ahli ibadah dan sangat
gemar bersedekah. Beliau wafat di zaman Khalifah Umar pada tahun 20 H, di usia
53 tahun. Beliau adalah istri Rasulullah SAW yang meninggal pertama
kali setelah wafatnya Nabi SAW.
8. Juwairiyah
bintu Al-Harits RA.
Sebelum masuk islam, dia bernama Barrah. Kemudian atas perintah
Rasulullah SAW diganti Juwairiyah. Beliau wanita istimewa dari kelompok Yahudi
Bani Musthaliq. Putri pemimpin yahudi Bani Musthaliq, Harits bin Abi Dhirar. Di
kampung bani Musthaliq, Juwairiyah menjadi Istri Musafi’ bin Shafwan.
Setelah Rasulullah SAW menaklukkan yahudi Bani Quraidzah karena
berkhianat ketika perang Khandaq, terdengar kabar bahwa Harits bin Abi Nadhr
bersama pasukannya Bani Musthaliq dan beberapa sekutunya dari berbagai suku
arab akan menyerang Madinah. Rasulullah pun menugaskan Buraidah bin Hashib
untuk mencari tahu kebenaran berita ini. Sahabat pemberani ini mendatangi
mereka.
Setelah Rasulullah SAW yakin akan kebenaran berita, beliau
memerintahkan para sahabat untuk bergegas menuju Bani Musthaliq. Ternyata,
Harits telah mengirim mata-mata untuk mengintai pasukan kaum muslimin. Namun
para sahabat berhasil menangkap mata-mata ini dan mereka membunuhnya.
Mendengar kedatangan pasukan Nabi SAW dan terbunuhnya mata-matanya,
Harits dan pasukannya sangat ketakutan. Hingga suku-suku arab yang ikut
bersamanya membatalkan perjanjian dan pulang ke daerah masing-masing.
Sampailah pasukan Nabi SAW di lembah Al-Muraisi’. Salah satu daerah
sumber air bagi bani Musthaliq. Di sinilah beliau menyiapkan barisan pasukan
dan membagi tugas masing-masing. Hingga akhirnya, kaum muslimin berhasil
mengalahkan bani yahudi. Di perang ini, terbunuhlah Musafi’ bin Shafwan, suami
Juwairiyah.[19]
Juwairiyah menjadi salah satu wanita tawanan ketika itu. Setelah
pembagian, Juwairiyah jatuh pada kepemilikan Tsabit bin Qais. Namun Tsabit
membebaskannya dengan syarat membayar uang tertentu. Hingga datanglah
Juwairiyah menghadap Nabi SAW dan memohon agar dibantu untuk melunasi biaya
pembebasan dirinya. Beliau menerima permohonan ini dan beliau menikahinya
dengan mahar pembebasan dirinya dari status budak.
Setelah mengetahui Rasulullah SAW menikahi Juwairiyah, banyak sahabat
yang membebaskan tawanannya dari Bani Mustaliq, sebagai bentuk penghormatan
untuk semua ipar Rasulullah SAW. Karena peristiwa ini, Juwairiyah dianggap
wanita yang paling berkah bagi kaumnya.
Beliau hidup hingga masa Khalifah Muawiyah. Meninggal di Madinah tahun
56 H.
9. Ummu
Habibah bintu Abi Sufyan RA.
Ulama berbeda pendapat tentang nama aslinya. Ada yang mengatakan nama
aslinya Ramlah. Ada juga yang mengatakan, Hindun. Beliau sepupu Utsman bin
Affan RA. Karena ibunya, Shafiyah bintu Abil ‘Ash adalah saudara Affan,
ayahnya Utsman.
Sebelumnya beliau menikah dengan Ubaidillah bin Jahsy. Bersama
Ubaidillah, beliau dikaruniai seorang putri bernama Habibah. Bersama suami dan
anaknya, Ummu Habibah hijrah ke negeri Habasyah untuk mendapatkan jaminan
keamanan karena tekanan suku Quraisy.
Sesampainya di Habasyah, suaminya meninggal. Ada yang mengatakan, murtad
dan memeluk nasrani.
Mendengar hal itu, Rasulullah SAW mengirim surat kepada raja Najasyi
untuk menikahkan Ummu Habibah dengannya, dan beliau mengutus Khalid bin Said
sebagai wakil beliau. Najasyi memberikan mahar untuknya sebesar 400 dinar.
Setelah beberapa tahun di Habasyah, raja soleh ini memulangkan Ummu Habibah ke
Madinah ditemani Syurahbil bin Hasanah.[20]
Beliau tinggal bersama suaminya, Nabi Muhammad SAW di tahun 7 H, di
usia 36 tahun. Ummu Habibah meninggal di Madinah tahun 44 H, di masa Khalifah
Muawiyah RA.
10. Shafiyah
bintu Huyai bin Akhtab RA.
Berasal dari masyarakat yahudi Bani Nadzir. Ayahnya, Huyai bin Akhtab
adalah kepala suku bani Nadzir. Satu suku yahudi, keturunan Nabi Harun AS.
Ibunya bernama Barrah bin Samuel. Saudara dari sahabat, Rifaah bin Samuel.
Sebelum masuk islam, Shafiyah menikah dengan Salam bin Masykam, seorang ahli
berkuda dan pandai bersyair. Setelah berpisah dengan Salam, Shafiyah menikah
dengan Kinanah bin Abil Haqiq.
Bani Nadzir tinggal di daerah Khaibar. Kala itu, Khaibar terkenal
sebagai kota besar, memiliki banyak benteng dan kebun kurma yang sangat luas.
Letaknya sekitar 120 km ke utara kota Madinah.
Ketika perang Khandaq, penduduk khaibar termasuk salah satu suku yang
membantu pasukan bersama kaum musyrikin untuk menyerang Madinah. Mereka juga
yang memanas-manasi bani Quraidzah untuk berkhianat kepada kaum muslimin.
Masyarakat Khaibar juga sering membantu orang manafik Madinah untuk melancarkan
makarnya.
Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah SAW mendapatkan titik
aman untuk semakin meluaskan islam. Salah satu sasaran beliau adalah Khaibar.
Satu daerah sangat strategis yang bisa menguatkan islam, sekaligus mengancam
entitas Madinah. Rasulullah SAW sangat berharap, agar Khaibar bisa masuk
kawasan islam.
Tentang Khaibar, sejatinya telah Allah sebutkan dalam Al-Quran,
وَعَدَكُمُ اللَّهُ
مَغَانِمَ كَثِيرَةً تَأْخُذُونَهَا فَعَجَّلَ لَكُمْ هَذِهِ
Artinya: “Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang
banyak yang dapat kamu ambil, Maka disegerakan-Nya harta rampasan ini
untukmu..” (QS. Al-Fath: 20)
Mujahid menjelaskan, harta rampasan yang banyak, yang Allah janjikan
adalah Khaibar.[21]
Singkatnya, kaum muslimin berhasil menaklukkan bani Nadzir, dan pada
peristiwa itu Kinanah, suami Shafiyah terbunuh karena melanggar kesepakatan.
Kaum muslimin pulang dengan membawa banyak rampasan perang dan tawanan,
termasuk Shafiyah.
Setelah semua tawanan dikumpulkan, datanglah Dihyah Al-Kalbi, ‘Ya
Rasulullah, berikan aku seorang budak.’ ‘Silahkan pilih budak.’ Jawab
Nabi SAW. Ketika itu, Dihyah mengambil Shafiyah untuk menjadi budaknya.
Tiba-tiba datang seorang sahabat melapor, ‘Ya Rasulullah, anda memberi
Dihyah seorang budak, Shafiyah bintu Huyai, wanita mulia dari Quraidzah dan
bani Nadhir, wanita yang hanya layak menjadi milik anda.’ ‘Bawa dia kemari!’
pinta Rasulullah SAW. Setelah melihatnya, Rasulullah SAW meminta
Dihyah untuk mengambil budak lainnya.
Rasulullah SAW menawarkan antara memilih islam ataukah tetap
beragama Yahudi. Shafiyahpun memilih islam dan menjadi istri
Rasulullah SAW setelah Khaibar ditaklukkan pada tahun 7 H. Yang
istimewa, walimah pernikahan Rasulullah SAW dengan Shafiyah
dilaksanakan di perjalanan pulang 12 mil dari Khaibar menuju Madinah.
Rasulullah SAW menyebutnya sebagai wanita Shadiqah, wanita yang jujur
imannya.[22] Beliau
meninggal tahun 50 H dan dimakamkan di Baqi.
11. Maimunah
bintu Al-Harits RA.
Wanita terakhir yang dinikahi Rasulullah SAW . Beliau adalah
saudara Ummu Fadhl (Lubabah bintul Harits). Dan Ummu Fadhl adalah ibunda Ibnu
Abbas RA. Sehingga Maimunah adalah bibi Ibnu Abbas dari jalur ibunya. Beliau
juga saudara Lubabah As-Shugra, ibunya Khalid bin Walid.
Ibunya Maimunah bernama Hindun bintu Auf. Sehingga Maimunah adalah
saudara seibu dengan Zainab bintu Khuzaimah, Ummul Masakin, istri Rasulullah
SAW yang telah wafat.
Rasulullah SAW menikahinya pada bulan Dzul Qo’dah tahun 7 H,
seusai umrah qadha. Maimunah mulai tinggal bersama Nabi SAW setelah
perjalanan pulang dari Mekah 9 mil menuju Madinah. Beliau meninggal ketika
perjalanan pulang dari Haji tahun 61 H di daerah Saraf dan dimakamkan di Saraf.
Demikianlah 11 wanita istimewa yang mendampingi
Rasulullah SAW dan menjadi keluarga beliau tanpa ada perselisihan di
kalangan ulama. Sementara ada dua wanita yang melakukan akad dengan
Nabi SAW, namun tidak dikumpuli Rasulullah SAW. Mereka dari Bani
Kilab dan Bani Kindah. Tentang siapa nama dua wanita ini, diperselisihkan para
ulama.
Disamping itu, Rasulullah SAW juga memiliki budak wanita. Dua
wanita yang terkenal sebagai budak Rasulullah SAW ,
a. Mariyah
Al-Qibtiyah
Beliau adalah hadiah dari raja Muqauqis sebagai jawaban atassurat
Rasulullah SAW yang mengajaknya untuk masuk islam. Dari
Mariyah, Rasulullah SAW mendapatkan seorang anak yang membuat beliau
sangat gembira, bernama Ibrahim. Namun putra beliau ini meninggal sebelum genap
usia 2 tahun. Beliau meninggal di masa Umar, dan jenazahnya dishalati Umar bin
Khatab dan dimakamkan bersama istri Rasulullah SAW lainnya.
b. Raihanah
bintu Zaid Al-Quradziyah
Beliau tawanan bani Quraidzah, kemudian dijadikan budak
Rasulullah SAW. ada juga yang mengatakan, beliau dibebaskan oleh
Rasulullah SAW dan dijadikan istrinya.
Abu Ubaidah menambahkan, ada 2 lagi budak wanita Rasulullah SAW.
yang satu hadiah dari Zainab dan satunya tawanan untuk penaklukan yang lain.
dan semuanya dimerdekakan sebelum beliau wafat.[23]
..............................................
حَمْـزَةُ عَمُّـهُ وعَـبَّاسٌ كَذَا * عَمَّـتُـهُ صَـفِيَّـةٌ ذَاتُ
احْتِذَا
Hamzah adalah Paman Nabi demikian
pula ‘Abbas, Bibi
Nabi adalah Shofiyyah yang mengikuti Nabi
Penjelasan Nadhom
Paman nabi Muhamad SAW jumlahnya ada 12 orang. Adapun yang masyhur ada
2, yakni Sayid Hamzah dan Sayid Abbas. Sedang bibi’ nabi ada 6 orang dan yang
masyhur ialah Siti Shofiyah.
& Hamzah bin Abdul Muthalib
Hamzah bin Abdul Muthaalib merupakan putra dari
Abdul Muthalib atau kakek Nabi Muhammad Saw. Adapun ibunya bernama Haulah binti
Wuhaib dari Bani Zuhrah. Di perkirakan kelahiran antara Hamzah tidak berbeda
jauh dengan Nabi Muhammad SAW.
Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan
artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang
bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah
Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu
atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.
Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim juga
merupakan seorang paman Nabi Muhammad SAW serta saudara sepersusuan. Ia masuk
Islam setelah memasuki tahun kedua kenabian dan ikut hijrah bersama dengan
Rasulullah SAW beserta rombongam kaum muslimin.
Sejak Hamzah memeluk Islam, dirinya telah
bertekad untuk mengabdikan segala kemampuan jiwa dan raganya untuk kepentingan
dakwah Islam. Hamzah seringkali ikut serta dalam peperangan seperti perang Badar dan
perang Uhud, bahkan Rasulullah SAW sampai memberikan julukan padanya “
Asadullah” atau Singa Allah dan juga menamainya sebagai Sayyidus Syuhada.
Rasulullah SAW menunjuk Hamzah bin Abdul
Muthalib menjadi panglima perang Badar dan memimpin pasukan muslimin. Saat
itulah Hamzah mulai menunjukkan keberaniannya yang luar biasa dalam upaya
mempertahankan Islam. Akhirnya ia bersama pasukan muslimin berhasil memenangkan
perang Badar dengan menjatuhkan banyak sekali korban dari pasukan kafir Qurays.
Kaum kafir Qurays beserta dengan beberapa
kafilah yang ada di jazirah Arab lainnya saling bersekutu untuk menghancurkan
Rasulullah Saw dan umat muslim. Kali ini yang menjadi sasaran utama mereka
adalah Nabi Muhammad SAW dan Hamzah bin Abdul Muthalib.
Kemudian pada Perang Uhud, mereka menyusun
rencana agar dapat menghabisi Hamzah dengan menyuruh seorang budak yang pandai
menggunakan tombak bernama Wahsyi bin Harb. Akhirnya pasukan kaum muslimin dan
kaum kafir Qurays bertemu dan berlangsung pertempuran yang sangat dahsyat
antara keduanya.
Saat itu Hamzah bin Abdul Muthalib berada di
tengah-tengah medan perang untuk memimpin sebagian pasukan dari kaum muslimin.
Dia mulai menunjukkan kemampuannya dengan sangat lincah menyerang ke kiri dan
ke kanan.
Setelah melakukan pertempuran yang luar biasa
tersebut akhirnya kemenangan dapat diperkirakan berada di pihak kaum muslimin.
Sebelumnya Rasulullah Saw telah berpesan kepada kaumnya agar tetap berada di
tempat mereka dan tidak meninggalkannya untuk memungut harta rampasan yang ada
di lembah Uhud.
Namun, sebagian dari pasukan terlalu yakin telah
memenangkan peperangan sehingga mereka sibuk memunguti harta rampasan dan
pertahanan kaum muslimin pun akhirnya lengah. Keadaan ini di manfaatkan oleh
kaum kafir Qurays untuk menyerang balik dan membuat kaum muslimin pun
kewalahan.
Sementara itu, Wahsyi terus mengincar Hamzah
yang sedang sibuk menghalau serangan dari kaum Qurays. Setelah Hamzah berhasil
menebas leher Siba’ bin Abdul Uzza , Wahsyi melemparkan tombaknya dan berhasil
mengenai pinggang bagian bawah Hamza dan akhirnya ia pun syahid dalam perang
Uhud pada tahun 3 H.
Dalam kitab ‘Usud al Ghabah, Ibnu Katsir
menyampaikan bahwa Hamzah bin Abdul Muthalib berhasil menghabisi 31 orang dari
pasukan kafir Qurays saat perang Uhud. Namun, saat itu ia tergelincir dan
membuatnya jatuh kebelakang sehingga baju besinya terlepas.
Kemudian Hamzah langsung di tombak oleh seorang
budak suruhan kaum kafir Qurays, perutnya di robek lalu hatinya di keluarkan
dan di kunyah oleh Hindun dan di muntahkan lagi olehnya. Hindun memang berniat
untuk membalaskan dendam karena ayahnya berhasil di bunuh oleh Hamzah saat
Perang Badar.
Rasulullah Saw menangis dan sangat marah saat
melihat keadaan dari Hamzah pamannya tersebut. Kemudian Allah SWT menurunkan
wahyu dan berfirman,
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ
فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ ۖ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ
لِلصَّابِرِينَ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah
dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan padamu. Akan tetapi,
jika kamu bersabar sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
bersabar.” (QS. An-Nahl: 126)
Nabi Muhammad SAW kemudian bersama dengan kaum
muslimin lainnya menyalatkan Hamzah dan para syuhada’ satu per satu yang
semuanya berjumlah 70 jenazah.
& Abbas bin Abdul Muthalib
Abbas bin Abdul Mutholib adalah paman Rasulullah
SAW dan salah seorang yang paling akrab di hatinya dan yang paling dicintainya.
Oleh sebab itu, beliau senantiasa berkata, "Abbas adalah saudara kandung
ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku."
Pada zaman Jahiliyah, ia mengurus kemakmuran
Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab
di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali di hatinya. Ia pernah menjadi
pembantu dan penasihat utamanya dalam Baiat Aqabah menghadapi kaum Anshar dari
Madinah.
Abbas adalah saudara bungsu ayah Nabi SAW,
Abdullah bin Abdul Muthalib. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum
kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Makkah. Ibunya,
Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang
mengenakan kelambu sutra pada Baitullah.
Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pernah
hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau putranya itu ditemukan, ia akan
mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama kemudian, Abbas ditemukan,
maka ia pun menepati nazarnya itu.
Abbas kemudian menikah dengan Lubabah binti
Harits, juga dikenal dengan sebutan Ummu Fadhl, yang dalam sejarah Islam
menjadi wanita kedua yang masuk Islam. Lubabah masuk Islam pada hari yang sama
dengan sahabatnya, Khadijah binti Khuwailid, yang tidak lain adalah istri
Muhammad SAW. Abbas dan Lubabah adalah orang tua dari Al-Fadhl, Abdullah,
Ubaidillah dan Qasim bin Abbas.
Pada tahun-tahun awal perjuangan Nabi SAW
menyampaikan dakwah Islam, Abbas selalu melindungi Rasulullah dari orang-orang
Quraisy yang hendak mencelakakan beliau. Walaupun pada saat itu, ia sendiri
belum masuk Islam.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang
Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang
mengatakan, lama sebelum Perang Badar.
Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Yatsrib,
Abbas tetap tinggal di Makkah, mendengarkan berita Rasulullah dan kaum
Muhajirin, dan mengirimkan berita-berita kaum Quraisy, hingga berkecamuknya
Perang Badar.
Abbas, biasa juga dipanggil Abu Fadhl, pergi
berhijrah ke Madinah bersama Naufal ibnul Harits. Ahli sejarah berbeda pendapat
tentang tanggal hijrahnya, namun mereka sependapat bahwa Rasulullah telah
memberikan sebidang tanah kepadanya, berdekatan dengan tempat kediamannya.
Suatu hari, Abbas datang menghadap Rasulullah
dan memohon dengan penuh harap, "Ya Rasulullah, apakah engkau tidak suka
mengangkat aku menjadi pejabat pemerintahan?"
Berdasarkan pengalaman, ia seorang yang
berpikiran cerdik, berpengetahuan luas, dan mengetahui liku-liku jiwa orang.
Namun Nabi SAW tidak ingin mengangkat pamannya menjadi kepala pemerintahan.
Beliau tidak ingin pamannya dibebani tugas-tugas pemerintahan.
"Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah
jiwa lebih baik daripada menghitung-hitung jabatan pemerintahan," kata
Rasulullah.
Ternyata Abbas menerima dengan senang hati
pendapat Rasulullah, tetapi malah Ali bin Abi Thalib yang kurang puas. Ia lalu
berkata kepada Abbas,
"Kalau kau ditolak menjadi pejabat
pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"
Sekali lagi Abbas menghadap Rasulullah untuk
meminta seperti yang dianjurkan Ali itu. Rasulullah kemudian bersabda
kepadanya,
"Wahai pamanku, tak mungkin aku
mengangkatmu mengurusi cucian (kotoran) dosa orang."
Rasulullah adalah orang yang paling akrab dan
paling kasih kepadanya, tidak mau mengangkatnya menjadi pejabat pemerintahan
atau pengurus sedekah. Bahkan ia tidak diberi kesempatan dan harapan untuk
mengurusi soal-soal yang bersifat duniawi, tetapi menekannya supaya lebih
menekuni soal-soal ukhrawi.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Abbas adalah orang
yang paling merasa kesepian atas kepergiannya itu. Abbas hidup terhormat di
bawah pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq maupun pada masa kepemimpinan
Umar bin Khathab.
Pada suatu hari dalam pemerintahan Khalifah
Umar, terjadi paceklik hebat dan kemarau ganas. Orang-orang berdatangan kepada
Khalifah untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang melanda daerahnya
masing-masing.
Umar menganjurkan kepada Muslimin yang
berkemampuan supaya mengulurkan tangan membantu saudara-saudaranya yang ditimpa
kekurangan dan kelaparan. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan supaya
mengirimkan kelebihan daerahnya ke pusat.
Ka'ab menemui Khalifah Umar seraya berkata,
"Wahai Amirul Mukminin, biasanya Bani Israel kalau menghadapi bencana
semacam ini, mereka meminta hujan dengan kelompok para nabi mereka."
Umar berkata, "Ini dia paman Rasulullah dan
saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan Bani Hasyim."
Khalifah Umar pergi kepada Abbas dan
menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang dan
paceklik itu. Kemudian ia naik mimbar bersama Abbas seraya berdoa, "Ya
Allah, kami menghadapkan diri kepada-Mu bersama dengan paman Nabi kami dan
saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai
putus asa!"
Abbas lalu meneruskan, memulai doanya dengan
puja dan puji kepada Allah SWT, "Ya Allah, Engkau yang mempunyai awan dan
Engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu
kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan dan suburkanlah semua air susu.
Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali karena dosa dan
Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali karena tobat. Kini umat ini sudah
menghadapkan dirinya kepada-Mu maka turunkanlah hujan kepada kami..."
Ternyata doanya itu langsung diterima dan
diijabah Allah SWT. Hujan lebat turun dan tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan
suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah dan mengucapkan selamat kepada
Abbas, "Selamat kepadamu, wahai Saqil Haramain, yang mengurusi minuman
orang di Makkah dan Madinah."
Abbas bin Abdul Muththalib, paman Rasululah SAW
dan saudara kandung ayahnya, termasuk salah seorang tokoh sahabat yang ikut
mengibarkan panji Islam. Sepak terjangnya dicatat sejarah dengan tinta emas
dalam Baiat Aqabah Kubra. Ia bertindak sebagai seorang penasihat dan juru
runding, menyertai keponakannya dalam majelis itu.
Abbas ra wafat pada hari Jumat, 12 Rajab 32 H,
dalam usia 82 tahun. Ia dikebumikan di Baqi', Madinah.
& Shafiyyah binti Abdul Muthalib
Shafiyyah binti Abdul Muthalib adalah seorang
mukminah yang telah berbai’at kepada Rasulullah SAW, seorang mujahidah, wanita
yang sabar, ahli sya’ir yang mulia. Nama lengkap beliau ialah Shafiyyah binti
Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab al-Qurasyiyah
al-Hasyimiyah. Beliau adalah bibi Rasulullah SAW, saudari dari singa Allah
Hamzah bin Abdul Muththalib. Beliau juga seorang ibu dari sahabat agung Zubeir
bin Awwam.
Shafiyyah RA tumbuh dalam rumah Abdul
Muththalib, pemuka Quraisy dan orang yang memiliki kedudukan tinggi, terpandang
dan mulia. Dialah yang dipercaya untuk mengurus pendatang yang berhaji.
Seluruh aktivitas tersebut membekas pada diri
Shafiyyah RA sehingga membentuk kepribadian beliau yang kuat. Beliau adalah
seorang wanita yang fashih lisannya dan ahli bahasa. Seorang cendikiawan dan
penunggang kuda yang pemberani. Beliau termasuk wanita yang awal dalam
mengimani putra saudaranya yang jujur dan terpercaya yaitu Muhammad SAW, serta
bagus keislamannya. Beliau berhijrah bersama putranya yang bernama, Zubeir bin
Awwam RA ke Madinah al-Munawarah untuk menjaga keislamannya.
Shafiyyah RA menyaksikan tersebarnya Islam dan
turut andil dalam menyebarkannya. Sungguh jihad telah menjadi darah dagingnya,
oleh karena itulah beliau tidak membuang kesempatan pada hari Uhud menjadi
pelopor bagi para wanita yang ikut keluar untuk membantu para mujahidin dan
mengobarkan semangat mereka untuk bertempur di samping beliau juga mengobati
mujahidin yang luka-luka di antara mereka.
Tatkala takdir Allah menghendaki kaum muslimin
terpukul mundur karena pasukan pemanah menyelisihi perintah Rasul SAW sebagai
panglima, maka banyak pasukan yang berpencar dari Rasulullah SAW, Namun,
Shafiyyah tetap berdiri dengan berani, sedangkan di tangannya menggenggam
tongkat dan beliau pukul wajah orang-orang yang mundur dari peperangan seraya
berkata, “Kalian hendak meninggalkan Rasulullah SAW?”
Manakala Shafiyyah mengetahui kesyahidan
saudaranya Hamzah bin Abdul Muththalib RA yang dijuluki singa Allah yang
dibunuh dengan sadis, maka Shafiyyah memberikan teladan yang agung bagi kita
dalam hal kesabaran, ketabahan, dan ketegaran. Beliau sendiri mengisahkan
kepada kita apa yang beliau saksikan, beliau berkata,
“Pada hari terbunuhnya Hamzah, Zubeir menemuiku
dan berkata, “Wahai ibunda sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruh Anda agar
kembali.” Beliau menjawab, “Kenapa? Sungguh telah sampai kepadaku tentang
dicincangnya saudaraku, namun dia syahid karena Allah. kami sangat ridha dengan
apa yang telah terjadi, sungguh aku akan bersabar dan tabah insya Allah.
Setelah Zubeir memberitahukan kepada Rasulullah SAW tentang komentarku, beliau
bersabda: “Berilah jalan baginya.!“ Maka, aku mendapatkan Hamzah dan tatkala
aku melihatnya aku berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, kemudian
aku mohonkan ampun baginya setelah itu Rasulullah SAW memerintahkan untuk
menguburkannya.
Gambaran lain dari Shafiyyah sang mujahidah dan
penunggang kuda ini adalah tatkala terjadi perang Khandaq saat pasukan Yahudi
mencoba menyerang tempat kaum wanita ketika itu para wanita muslimah dan
anak-anak berada dalam sebuah benteng. Di sana ada juga Hassan bin Tsabit RA.
Tatkala ada orang Yahudi mengelilingi benteng
sedangkan kaum muslimin sedang menghadapi musuh. Maka berdirilah Shafiyah RA
dan berkata kepada Hassan,
“Sesungguhnya laki-laki Yahudi ini menjadikan
kita tidak aman karena mereka akan mengetahui kekurangan kita, maka berdirilah
dan bunuhlah ia”.
Hassan menjawab, “Semoga Allah mengampuni Anda,
sungguh Anda mengetahui bahwa seperti itu bukanlah keahlian saya.”
Ketika Shafiyyah mendengar jawaban Hassan,
beliau langsung bangkit diiringi semangat yang ada di jiwanya, beliau mengambil
tongkat yang keras kemudian turun dari benteng. Beliau menunggu kesempatan
lengahnya orang Yahudi tersebut lalu beliau memukulnya tepat pada ubun-ubun
secara bertubi-tubi, hingga dapat membunuhnya.
Beliau memang, “Wanita pertama yang membunuh
laki-laki.” Beliau kembali ke benteng dan tersirat kegembiraan pada kedua
matanya karena mampu menghabisi musuh Allah yang berarti pula menjaga rahasia
persembunyian para wanita dan kaum muslimah dari mereka.
Kemudian beliau berkata kepada Hassan, “Turunlah
dan lucutilah dia, sebab tiada yang menghalangi diriku untuk melucutinya
melainkan karena dia seorang laki-Iaki.”
Hassan berkata, “Saya tidak berkepentingan untuk
melucutinya wahai binti Abdul Muththalib.”
Begitulah kaum muslimin mendapatkan kemenangan
dalam perang ini dengan jiwa yang beriman dan pemberani, tidak mengenal istilah
mustahil, dalam meraih jalan kemenangan
Tatkala perang Khaibar, Shafiyyah r.a. keluar
bersama kaum muslimah untuk memompa semangat pasukan kaum muslimin. Mereka
membuat perkemahan di medan jihad untuk mengobati pasukan yang terluka karena
perang. Rasulullah SAW merasa senang dengan peran para mujahidah, sehingga
mereka juga mendapatkan bagian dari rampasan perang.
Nabi SAW mencintai bibinya, Shafiyyah RA dan
memuliakan beliau Serta memberikan kepada beliau bagian yang banyak.
Tatkala turun ayat:
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ
ٱلْأَقْرَبِينَ
Artinya: “Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. asy-Syura: 214).
Beliau bersabda:
“Hai Fathimah binti Muhammad, hai Shafiyyah
binti Abdul Muthalib, wahai Bani Abdul Muthalib aku tidak kuasa menolong kalian
dari siksa Allah. Mintalah kepadaku apa saja yang ada padaku.”
Shafiyyah RA mencintai Rasulullah SAW sejak
kecil dan mengikutinya. Beliau takjub dengan keadaan Nabi dan akhirnya
mengimani kenabian beliau, menyertai beliau dalam peperangan dan merasa sedih
tatkala wafatnya Rasulullah SAW yang beliau ungkapkan dengan sya’irnya yang
indah:
Wahai mata, tumpahkanlah air mata dan janganlah
tidur
Tangisilah sebaik-baik manusia yang telah tiada
Tangisilah aI-Musthofa dengan tangisan yang
sangat
Yang merasuk ke dalam hati laksana terkena
pukulan
Nyaris aku tinggalkan hidup tatkala takdir
datang padanya
Yang telah digariskan dalam Kitab yang mulia
Sungguh beliau pengasih kepada sesama hamba
Rahmat bagi mereka dan sebaik-baik pemberi
petunjuk
Semoga Alah meridhainya tatkala beliau hidup dan
mati
Dan membalasnya dengan surga pada hari yang
kekal
Shafiyyah RA hidup sepeninggal Rasulullah SAW
dengan penuh kewibawaan dan dimuliakan. Semua orang mengetahui keutamaan dan
kedudukan beliau. Hingga tatkala beliau wafat pada zaman Khalifah Umar bin
Khathab. Umur beliau mencapai lebih dari 70 tahun.
Semoga Allah merahmati Shafiyyah, sungguh beliau
ibarat menara yang tinggi dalam sejarah Islam dan perjalanan hidup yang baik
dalam hal pengorbanan dan jihad untuk menolong dienullah.
..............................................
[1] HR. Bukhori no. 3537 dll
[2] Ibnu Qoyim, Zaadul
Ma’ad, 2/317.
[3] Ammi Nur Baits,
Istri-istri Nabi SAW, (www.muslimah.or.id), diakses tanggal 3 September
2022.
[4] Abu
Nuaim Al-Ashbahani, Dalail An-Nubuwah, juz 1 halaman 178.
[5] Ibnu Sa’d, Thabaqat
Al Kubro, 1/132
[6] Hakim al Naisaburi,
Al-Mustadrak Al-Hakim, 11/157
[7] Ibnu Katsir, Al-Bidayah
wa An-Nihayah, 2/295
[8] HR. Ahmad 12391,
Turmudzi 3878
[9] Ibnu Katsir, Al-Bidayah
wan Nihayah, 3/149
[10] Shafiyurrahman
Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 471
[11] Shafiyurrahman
Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 471
[12] HR. Bukhari 3894 &
Muslim 1422
[13] HR. Bukhari 5077
[14] HR. Bukhari 4005
[15] HR. Muslim 918
[16] Ibn Sa’d, Thabaqat
Al-Kubro, no. 9895
[17] Ibnu Katsir ,
Tafsir Ibnu Katsir, 6/424 – 425
[18] HR. Bukhari 7420
[19] Shafiyurrahman
Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 286.
[20] HR. Abu Daud 2107
[21] Ibn Katsir, Tafsir Ibn
Katsir, 7/341
[22] Ibn Hajar al Asqalani,
Al-Ishabah fi Tamyiz ash Shahabah, 7/741
[23] Shafiyurrahman
Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 472.
Komentar
Posting Komentar