Aqidatul Awam: (Bab 11) Isro’ Mi’roj

 


﴿ الْبَابُ الْحَادِى عَشَرَ 

Isro’ Mi’roj

 

وَقَبْـلَ هِجْـرَةِ النَّـبِيِّ اْلإِسْرَا * مِـنْ مَـكَّةَ لَيْلاً لِقُدْسٍ يُدْرَى

 

Dan sebelum Nabi Hijrah (ke Madinah), terjadi peristiwa Isro’. Dari Makkah pada malam hari menuju Baitul Maqdis yang dapat dilihat

 

وَبَعْدَ إِسْـرَاءٍ عُرُوْجٌ لِلسَّـمَا * حَتَّى رَأَى النَّـبِيُّ رَبًّـا كَـلَّمَا

 

Setelah Isro’ lalu Mi’roj (naik) keatas sehingga Nabi melihat Tuhan yang berkata-kata

 

مِنْ غَيْرِكَيْفٍ وَانْحِصَارٍ وَافْـتَرَضْ * عَلَيْهِ خَمْسًا بَعْدَ خَمْسِيْنَ فَرَضْ

 

Berkata-kata tanpa bentuk dan ruang. Di sinilah diwajibkan kepadanya (sholat) 5 waktu yang sebelumnya 50 waktu

 

——— Penjelasan Nadhom –––

Orang mukalaf wajib meyakini bahwa nabi Muhamad SAW di-Isro’kan (perjalanan malam hari mulai dari Masjidil Haram sampai ke Masjidil Aqsa) dan di-Mi’rojkan, artinya dinaikkan sampai ke Mustawa. Kira-kira kurang 1 tahun dari hijrah nabi SAW ke Madinah.

Saat itu nabi Muhamad SAW menerima firman Allah supaya melaksanakan sholat 5 waktu bersama seluruh umat beliau. Ketika Mi’roj, nabi Muhamad SAW dapat melihat Allah yang tidak seperti apapun.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِى السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْم .

 

& Hari-hari Penuh Duka Menjelang Isra' Mi'raj

Ada dua peristiwa penting yang melatarbelakangi terjadinya isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw. Dua peristiwa itu amat berkesan dalam hati beliau, peristiwa yang diliputi dengan duka yang senantiasa menekan dadanya. Demikian berat peristiwa itu dirasakan oleh Nabi, sehingga para ahli sejarah menyebutnya dengan istilah “Aam al-Huzni” atau tahun kesedihan.

Peristiwa pertama adalah wafatnya Abu Thalib, seorang paman yang sangat dicintai, paman yang selama bertahun-tahun memeliharanya. Sejak beliau berusia delapan tahun sampai diantar ke gerbang kebahagiaan ketika ia menikah dengan Khadijah dalam usia 25 tahun.

Abu Thalib sangat mencintai Nabi, ia senantiasa melindungi dari berbagai tantangan dan rongrongan yang datang dari kaum musyrik Quraisy. Ia yang menjadi pelindung dan perisai bagi Nabi dari segala tindakan musuh. Ia juga pemimpin Quraisy yang amat berwibawa dan disegani berbagai kalangan.

Peristiwa kedua adalah wafatnya Sayyidah Khadijah, istri yang sangat beliau cintai dan ia pun sangat mencintainya. Istri yang senantiasa mendampinginya selama bertahun-tahun dalam segala suka dan duka. Khadijah adalah wanita bangsawan Quraisy yang memiliki sifat keibuan yang luhur. Ia selalu berusaha membahagiakan Nabi dalam segala kehidupannya dan senantiasa mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukannya.

Perananan Khadijah begitu besar dalam perjuangan Nabi Muhammad. Ia senantiasa menghibur Nabi dari segala kesedihannya. Ia juga selalu berusaha membela Nabi dari segala rintangan dan tantangan. Sampai khadijah wafat, Nabi tidak pernah nikah dengan siapapun, dialah istri satu-satunya yang beliau cintai. Demikian besarnya cinta dan kasih sayang Nabi pada Khadijah, sehingga setelah ia wafat Nabi selalu mengingatnya.

Setelah Nabi menikah dengan ‘Aisyah sepeninggal beliau, meskipun ‘Aisyah seorang wanita yang sangat cantik dan cerdas, ia tidak bisa menggeser kedudukan Khadijah dalam diri Nabi. Mengenai Khadijah yang kedudukannya tidak bisa digeser siapapun di samping Nabi, beliau mengatakan:

“Allah tidak menggantikan untukku seorang yang lebih baik dari Khadijah, ia seorang yang pertama kali beriman kepadaku, pada saat orang lain mendustakan aku. Ia yang senantiasa mencintaiku tatkala banyak orang membenciku. Ia korbankan harta kekayaannya dalam rangka membela agama”.

Setelah kehilangan dua orang yang dicintainya itu, Nabi Muhammad semakin menjumpai berbagai kesulitan. Tekanan orang-orang Quraisy dirasakan semakin keras saja. Dua peristiwa di atas akan meninggalkan luka yang parah dalam  jiwa manusia, bagaimanapun ia kuat dan tabahnya. Ia akan menimbulkan benih-benih keputusasaan dalam jiwa seseorang, andaikata tidak dibekali dengan iman yang kuat.

Sepeninggal keduanya, terus-menerus beliau menghadapi permusuhan dan penghinaan dari kaumnya, sehingga beliau pernah dilempari dengan tanah yang kotor, sehingga mengenai seluruh kepalanya. Dengan bekas tanah masih menempel di kepalanya.

Fatimah putrinya yang sangat beliau cintai, membersihkan tanah itu. Ia membersihkannya sambil menangis, mencucurkan air mata, tanda kesedihan yang sangat mendalam. Tak ada yang lebih sakit rasanya dalam kalbu seseorang ayah daripada mendengar isak tangis anaknya, lebih-lebih yang mencucurkan air mata itu adalah anak perempuan. Setetes air mata kesedihan yang menitik dari kelopak mata seorang putri adalah sepercik api yang membakar jantung. Ia juga secercah duka yang menyelinap jauh ke lubuk hati dalam rintihan jiwa yang menyedihkan.

Rasul Muhammad saw adalah seorang ayah yang sangat bijaksana dan penuh kasih kepada anak-anaknya. Yang kita lihat dari reaksi beliau terhadap tangisan anak perempuannya, yang merasa sedih dan duka karena malapetaka yang menimpa ayahnya.  

Peristiwa yang mengharukan itu beliau hadapi dengan kesabaran dan berlapang dada. Semuanya dikembalikan kepada Allah dengan penuh iman dan taqwa. Ia berkata kepada putrinya:

“Jangan menangis anakku sesungguhnya Allah akan melindungi ayahmu”.[1]

Karena tekanan dan penghinaan orang-orang Quraisy terhadap Rasul semakin gencar, terlintas olehnya untuk melakukan perjalanan ke Thaif, berdakwah kepada penduduk negeri itu. Rasul menaruh harapan semoga kaum Tsaqif yang menduduki wilayah Thaif yang amat subur dengan udara sejuk itu mau menerima agama Allah swt. Thaif sebuah kota kecil yang kini sering dipakai tempat peristirahatan di musim panas karena hawanya sejuk, berjarak 60 km sebelah timur laut Kota Makkah.

Sesampainya di Thaif, setelah mengadakan perjalanan yang melelahkan dengan terik panas matahari yang menyengat, Nabi memasuki kota itu dengan penuh harapan. Ia berharap semoga penduduk Thaif mau menerima kedatangan dan dakwahnya yang senantiasa ia perjuangkan.

Harapan dan keinginan Nabi menjadi sirna, ketika beliau memasuki kota itu dengan sambutan yang sangat mengecewakan. Penduduk Thaif ternyata amat bengis, mereka menolak kedatangan Nabi Muhammad, dakwahnya mereka tolak dengan kasar.  Demikian kasarnya sikap mereka kepada Nabi, sehingga mereka mengkhianati kebiasaan bangsa Arab, yang selalu menghormati tamunya.

Orang-orang Thaif mengusir Nabi dengan kasar, bahkan dilempari dengan batu. Nabi segera menghindari mereka, berlindung di bawah pohon anggur milik Uthbah dan Syaibah. Kaki beliau mengucurkan darah sehingga melengket di sandalnya karena darah yang mengering.

Menghadapi penghinaan yang teramat keras, Nabi tidak mengutuk mereka, bahkan beliau menyampaikan do’a: ”Wahai Tuhanku, tunjukilah kaumku, karena sesungguhnya mereka belum mengetahui”.

Di tempat itu, beliau menengadah ke langit, hanyut dalam suatu do’a pengaduan yang sangat mengharukan.

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُوْ إِلَيْكَ ضَعْفَ قُوَّتِيْ وَقِلَّةَ حِيْلَتِيْ وَهَوَانِيْ عَلَى النَّاسِ أَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ وَأَنْتَ رَبُّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ وَأَنْتَ رَبِّيْ إِلَى مَنْ تَكِلُنِيْ إِلَى بَعِيْدٍ يَتَجَهَّمُنِيْ أَمْ إِلَى عَدُوٍّ مَلَكْتَهُ أَمْرِيْ؟ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ عَلَيَّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِيْ غَيْرَ أَنَّ عَافِيَتَكَ هِيَ أَوْسَعُ لِيْ. أَعُوْذُ بِنُوْرِ وَجْهِكَ الَّذِيْ أَشْرَقَتْ لَهُ الظُّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَنْ يَحِلَّ عَلَيَّ غَضَبُكَ أَوْ أَنْ يَنْزِلَ بِيَ سُخْطُكَ لَكَ الْعُتْبَى حَتَّى تَرْضَى وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلَّا بِكَ.

“Wahai Allah Tuhanku, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan diriku, kekurangan daya upayaku dan kehinaanku dihadapan sesama manusia. Wahai Allah Yang Maha Kasih dari segala kasih, Engkau adalah pelindung orang-orang yang lemah dan teraniaya. Engkau adalah pelindungku. Tuhanku, kepada siapa Engkau serahkan diriku? Apakah kepada orang jauh yang membenciku atau kepada musuh yang menguasai diriku. Tetapi asal Kau tidak murka padaku, aku tidak perduli semua itu. Rahmat dan karunia-Mu lebih luas bagiku, aku berlindung dengan cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan, yang karenanya membawa kebahagiaan bagi dunia dan akhirat, daripada murka-Mu yang akan Kau timpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku sehingga Engkau meridhaiku. tiada daya dan upaya kecuali dari-Mu”.[2]

Munajat dan doa pengaduan tersebut kemudian dikenal dengan nama doa Thaif. Demikianlah peristiwa-peristiwa penting yang terus menguji ketabahan Nabi, menjelang beliau mendapatkan kehormatan yang agung, yaitu peristiwa isra’ dan mi’raj. Kita hendaknya dapat mengambil pelajaran tersebut sebagai teladan bagi kita dalam mengarungi kehidupan. Dalam doa itu Nabi mendekatkan diri pada Tuhannya dengan merasakan kelemahan dirinya dan ketidakmampuannya. 

Sikap merendahkan diri dan mengakui kelemahan serta kekurangan di hadapan Allah adalah merupakan ciri dari seseorang manusia yang imannya sempurna. Penghambaan diri di hadapan Allah adalah merupakan realisasi dari ikrar kita dalam surat al-Fatihah "Iyyaka Na’budu wa iyyaka Nasta’in”, hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.

Dalam doa itu juga ditegaskan dengan penuh keyakinan bahwa hanya kepada Allah sajalah tempat berlindung dan tempat memohon segala pertolongan. Selanjutnya Nabi menegaskan bahwa sekiranya semua orang membencinya atau memusuhinya, hal itu tidak ada masalah, asal Allah meridhainya. Keridhaan Allah adalah dambaan setiap orang yang beriman, sedangkan rahmat-Nya dapat mengalahkan segala kesulitan yang diderita umat manusia, betapa pun beratnya.

Banyak orang yang kelihatannya menderita dalam kehidupan dunia, tetapi sebenarnya merasakan kebahagiaan batin yang tidak dirasakan orang lain. Seorang yang bertakwa kepada Allah swt. dengan takwa yang setinggi-tingginya akan merasakan bahagia meskipun dalam kesederhanaan materi, ia akan merasa ramai meskipun sendirian, ia akan merasa berani meskipun tanpa pendukung. Ia akan memiliki dada yang lapang, bagaikan samudera yang tidak bertepi, bila memperoleh nikmat ia bersyukur dan bila terkena musibah ia tabah dan sabar.[3]

 

& Rangkaian Isra’ Mi’raj yang Membentuk Karakter Nabi

Sebagai Nabi terakhir (khatamun nabiyyin), Rasulullah Muhammad SAW mengemban misi yang tidak ringan. Rintangan demi rintangan beliau alami dalam mendakwahkan ajaran Islam. Namun, beliau sudah di-backing langsung oleh Allah Swt. dalam menjalankan misi dakwahnya. Nabi pernah bersabda,

 أَدَّبَنِي رَبِّي فَأحْسن تَأْدِيِبْي

“Allah telah membimbingku dengan bimbingan yang sempurna.”

Salah satu skenario cantik Allah SWT. dalam membimbing Nabi adalah ketika menjelang hijrah ke Madinah. Sebelum hijrah ke kota kaum Anshar itu, Allah telah menempa Nabi melalui perjalanan Isra’ Mi’raj. Perjalanan malam agung yang penuh hikmah.  

Tidak hanya itu, sebelum Nabi melakukan Isra Mi’raj, Allah telah menempa Nabi dengan cobaan demi cobaan yang berperan penting dalam membentuk karakter tangguh Nabi Muhammad.

Nabi sebelum Di-isra’-kan

Dalam berbagai kitab yang menjelaskan sejarah Nabi saw, seperti Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, Rahiq al-Makhtum karya Safyurrahman al-Mubarakfuri, dan Sirah Nabawiyah Durus wa ‘Ibar karya Musthafa as-Siba’i, kehidupan Nabi fase Mekah diwarnai dengan penuh tekanan dan penindasan.

Tidak hanya itu, Nabi juga kehilangan orang-orang tercinta tempat beliau mengadu dan melepas lelah. Sejak masih di kandungan, ayah tercinta wafat. Baru usia 6 tahun ibunda tercinta pergi. Usia 8 tahun sang kakek yang merawatnya dengan penuh kasih sayang juga meninggalkannya.

Setelah itu disusul paman yang juga merawatnya penuh cinta. Lalu berikutnya kepergian Khadijah, istri tercinta, istri yang selalu menguatkan jika Nabi dalam keresahan, termasuk saat Nabi goncang didekap Jibril untuk menerima wahyu pertama.  

Para sejarawan kemudian menamai tahun kewafatan orang-orang tersayang yang silih berganti itu dengan nama tahun kesedihan (‘amul huzni). Beban Nabi Muhammad di Makkah bukan hanya dengan meninggalnya orang-orang tersayang, tapi juga penindasan demi penindasan oleh orang-orang Quraisy yang merasa terusik dengan agama baru yang dibawanya. Bahkan, beberapa kali nyawa nabi terancam.

Rasanya tak sampai hati menceritakan detail kisah-kisah pilu itu. Safsyurrahman al-Mubarakfuri, Sejarawan yang meraih juara satu penulisan sirah nabawiyah terbaik, sampai menuliskan judul khusus untuk model-model yang digunakan orang Quraisy dalam rangka melumpuhkan misi dakwah Nabi saw.  

Tidak hanya itu, dalam karya monumentalnya yang berjudul Rahiq al-Maktum, Safyurrahman juga membuat judul yang membahas beragam ekspresi penganiayaan yang dialami Nabi dan umatnya saat di kota Makkah. Sebagai contoh saja, dalam Rahiq al-Maktum dijelaskan bagaimana Abu Lahab, salah satu dedengkot musuh Islam paling kejam, ia selalu menguntit di belakang Rasulullah saat musim haji dan di pasar-pasar sebagai upaya mendustakannya. Lebih dari itu, Abu Lahab juga memukuli Rasulullah dengan batu sampai kedua tumit beliau berdarah.[4]

Tidak mau kalah dengan suaminya, Ummu Jamil, istri yang juga tidak jauh beda ‘nakalnya’, ia gemar mencaci, menyebar hoaks, menyulut api fitnah serta mengobarkan perang membabibuta terhadap Nabi. Ia juga pernah membawa duri dan memasangnya di jalan yang biasa dilalui oleh Rasulullah. Al-Quran kemudian menjulukinya dengan Hammalah al-Hatab (wanita pembawa kayu bakar).[5]

Isra’ Mi’raj untuk Menghibur Nabi

Setelah masa-masa penuh cobaan Nabi lalui dan kesedihan demi kesedihan Nabi alami, Allah swt memberikan nabi waktu untuk refleksi dan rekreasi dengan adanya peristiwa Isra Mi’raj. Pada peristiwa itu, Nabi dipertemukan nabi-nabi terdahulu, diperlihatkan hal-hal gaib, sampai pada puncaknya, Nabi bertemu langsung dengan Rabb-nya, tanpa ada penghalang (hijab).   

Dr Ali Muhammad as-Shallabi menjelaskan,

“Setelah cobaan demi cobaan Nabi lalui, tibalah peristiwa Isra' Mi’raj sesuai rencana Allah Swt. Allah memi’rajkan Nabi. Memuliakannya atas kesabaran dan perjuangan yang telah ditempuhnya. Bertemu dengan Rabb-nya tanpa ada penghalang, melihat hal-hal gaib yang tidak bisa dilihat makhluk-makhluk selainnya, berkumpul dengan nabi-nabi yang lain dan menjadi imam shalat bagi mereka. Ia lah pemungkas para nabi-nabi.”[6]

Hijrah ke Madinah Setelah fase dakwah di Mekah selama 13 tahun dengan segala dinamikanya disertai peristiwa Isra' Mi’raj, kiranya cukup waktu selama itu untuk membentuk karakter Nabi yang tangguh dalam mengemban misi risalah berikutnya di Kota Madinah.

Dr Ali Muhammad as-Shallabi menjelaskan bahwa, selama fase dakwah di Mekah dengan penuh rintangan dan cobaan, kiranya semua itu telah membentuk karakter Nabi yang tangguh. Begitu pula orang-orang yang sudah menyatakan masuk Islam, waktu selama itu sudah membuat keimanan mereka kuat. Jumlah muslim yang semakin banyak membuat mereka kuat dan siap untuk melanjutkan dakwah di lingkungan baru, Madinah.[7]  

Dengan bekal pengalaman dakwah selama di Makkah, Nabi bersama orang-orang Muslim lebih memiliki konsep yang matang. Meski, tentu saja, fase awal di Madinah pun banyak rintangan dan tantangan.

Safyurrahman al-Mubarakfuri mengklasifikasikan tiga tahapan selama dakwah di Madinah:[8]

Pertama, tahapan yang warnai dengan suasana instabilitas, problem-problem internal dan serangan dari penduduk Makkah.

Kedua, tahapan gencatan senjata bersama para pemimpin Kaum Paganis yang diakhiri dengan peristiwa Fathu Makkah (penaklukkan kota Mekah) pada bulan Ramadhan tahun 8 H.

Ketiga, tahapan berbondong-bondongnya orang masuk Islam sampai Nabi wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun ke-11 H.[9]

 

& Penglihatan Rasulullah ketika Isra' dan Mi’raj, Mimpi atau Kasatmata?

Allah berfirman dalam Surat Al-Isra' ayat 60:

وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلا فِتْنَةً لِلنَّاسِ  

Artinya: "Dan kami tidak menjadikan penglihatan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia."  

Di antara mufasirin ada yang memahami bahwa "ar-ru'ya" pada ayat ini bermakna mimpi. Yaitu mimpi Rasulullah tentang Perang Badar sebelum perang itu terjadi. Kenyataannya, banyak mufasirin yang mengartikannya sebagai penglihatan kasatmata Rasulullah dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj.  

Namun ada juga yang menyatakan bahwa Surat Al Isra' ayat 60 itu adalah dalil bahwa Rasulullah itu Isra’ dan Mi’raj-nya melalui penglihatan mimpi, yaitu dengan memahami ru'ya itu sebagai penglihatan dalam mimpi.  

Benarkah demikian?  

Tentu pandangan tersebut menyelisihi keyakinan mayoritas ulama, yang menyatakan bahwa Isra' dan Mi'raj-nya Rasulullah itu dengan sadar ruh dan jasad.  

 Syekh Abul Hasan al-Wahidy (w. 467 H) dalam Tafsir Al-Quran Al-Aziz menyatakan bahwa ru'ya dalam ayat ini berhubungan dengan peristiwa Isra'-nya Rasulullah dan hal itu dengan penglihatan terjaga.

Syekh Nawawi Banten dalam Tafsir Marah Labid menyatakan:

"(Penglihatan itu) pada malam Mi'raj, yaitu apa-apa yang dilihat oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam dalam keadaan sadar; dengan kedua mata kepala beliau dari keajaiban-keajaiban bumi dan langit."  

 Di bawah ini bukti riwayat bahwa Rasulullah itu melihat dengan mata kepala sendiri.   Pertama, kita lihat riwayat Ibn Abbas. Dikutip oleh Al Hafidz Jalaluddin as Suyuthi dalam ad-Durrul Mantsur;

“Ibn Abbas (menafsiri Al Isra' ayat 60) menyatakan bahwa itu adalah penglihatan mata yang diperlihatkan kepada Rasulullah pada malam beliau di-isra'-kan ke Baitul Maqdis, dan bukan penglihatan tidur (mimpi).”  

Kedua, riwayat dari Ummi Hani' bahwa ketika Rasulullah mendeskripsikan Baitul Maqdis secara tepat maka ada yang menyebut beliau sebagai seorang penyihir. Karena itulah turun ayat ini yang menjelaskan bahwa rukya itu menjadi fitnah bagi manusia yang ingkar.  

Menafsirkan ayat tersebut, al-Hafidz Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Tafsir Al-Quran Al-Karim menyatakan:

“Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan Al-Isra: 60 bahwa yang dimaksud dengan "rukya" dalam ayat ini ialah pemandangan mata yang diperlihatkan kepada Rasulullah di malam Isra.   Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abdur Razzaq, dan lain-lainnya, dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama.   Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.   Hal yang sama telah ditafsirkan oleh Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Al-Hasan, Masruq, Ibrahim, Qatadah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa hal itu terjadi di malam Isra’.”

“Dalam kisah Isra’ disebutkan bahwa ada segolongan orang menjadi murtad dari agama yang hak setelah mendengar kisah ini; karena kisah ini tidak dapat diterima oleh hati dan akal mereka, maka mereka mendustakannya. Akan tetapi, Allah menjadikan kisah ini sebagai kekokohan iman dan keyakinan sebagian manusia lainnya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya إِلا فِتْنَةً (melainkan sebagai ujian). Yakni sebagai cobaan dan ujian buat mereka.".[10]

 

& Kenapa Isra dan Mi’raj Terjadi di Malam Hari?

Isra dan mi‘raj merupakan peristiwa yang terjadi di malam hari. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Isra ayat pertama:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Artinya, “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Walaupun ada beberapa hadits dan pendapat yang menjelaskan waktu terjadinya Isra Mi‘raj, tetapi dari ayat di atas sudah cukup jelas bahwa Isra dan Mi‘raj terjadi di malam hari. Hal ini tentu memunculkan pertanyaan di benak kita, mengapa harus malam hari? Mengapa tidak siang hari saja?

Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya, Al-Ayatul Kubra fi Syarhi Qisshatil Isra menjelaskan beberapa alasan mengapa Allah menjadikan malam sebagai waktu terjadinya peristiwa Isra dan mi‘raj:[11]

Pertama, karena malam adalah waktu yang tepat untuk melakukan khalwah (menyepi) dan pengkhususan.

“Ibnu Munir berpendapat bahwa peristiwa Isra terjadi di malam hari karena malam merupakan waktu yang tepat untuk menyepi serta biasanya sebagai waktu yang tepat untuk mengkhususkan amalan.”

Kedua, karena malam adalah waktu diwajibkannya shalat. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

 قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيْلًا

Artinya, “Dirikanlah shalat di malam hari, kecuali sedikit,” (Surat Al-Muzammil ayat 2).

Ketiga, sebagai sebuah ujian bagi para Mukmin untuk percaya terhadap hal-hal yang ghaib, hal-hal yang tidak dapat dicerna oleh akal, serta sebagai ujian bagi orang-orang kafir. Apakah ia tetap ingkar dengan risalah nabi, atau akan beriman.

Keempat, karena malam merupakan waktu yang mulia. Hal ini disebabkan karena ada beberapa peristiwa yang terjadi di waktu malam, khususnya kisah-kisah istimewa yang terjadi dalam kehidupan para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Di antaranya, kisah Nabi Ibrahim yang awalnya menganggap bintang-bintang sebagai Tuhan, kemudian sadar bahwa bintang-bintang tersebut ternyata bukan Tuhan karena ia menghilang. Hal ini terekam dalam Surat Al-An’am ayat 76:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَىٰ كَوْكَبًا ۖ قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ

Artinya, “Ketika malam telah gelap, ia melihat sebuah bintang (lalu) ia berkata, ‘Inilah Tuhanku,’ tetapi tatkala bintang itu tenggelam ia berkata, ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam.’”

Selain itu, malam juga menjadi waktu dikabulkannya doa Nabi Yaqub AS sesuai firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 98.

Selain dua kisah tersebut masih ada beberapa kisah lagi yang menunjukkan kemuliaan malam dalam kehidupan para nabi sebelumnya. Hal ini sekaligus juga sebagai bantahan untuk para filsuf yang menganggap bahwa malam merupakan waktu yang hina.

Kelima, karena malam adalah waktu yang tepat untuk berkumpul dengan orang-orang yang kita cintai. Maka dari itu, Allah memberangkat Rasul pada malam hari.

Keenam, malam merupakan satu-satunya waktu yang dijanjikan Allah sebagai waktu yang terbaik dari seribu bulan (lailatul qadar). Tidak ada waktu lain selain malam yang memiliki keistimewaan seperti ini.

Ketujuh, malam adalah waktu turunnya wahyu yang pertama.

Kedelapan, malam adalah waktu dikabulkannya doa. Berbeda dengan siang, hanya hari Jumat satu-satunya waktu siang yang memiliki keutamaan tersebut.

Kesembilan, karena malam adalah waktu yang tepat untuk menyegarkan pikiran, dengan istirahat. Sedangkan pagi diciptakan Allah untuk mencari penghasilan.

Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Furqan ayat 47:

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِبَاسًا وَالنَّوْمَ سُبَاتًا وَجَعَلَ النَّهَارَ نُشُورًا

Artinya, “Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat. Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.”.[12]

.......................................

 

وَبَـلَّـغَ اْلأُمَّـةَ بِاْلإِسْــرَاءِ * وَفَـرْضِ خَـمْـسَةٍ بِلاَ امْتِرَاءِ

 Dan Nabi telah menyampaikan kepada umat peristiwa Isro’ tersebut. Dan kewajiban sholat 5 waktu tanpa keraguan

 

قَدْ فَازَ صِـدِّيْقٌ بِتَصْـدِيْقٍ لَهُ * وَبِالْعُرُوْجِ الصِّـدْقُ وَافَى أَهْلَهُ

 Sungguh beruntung sahabat Abubakar As-Shiddiq dengan membenarkan peristiwa tersebut, juga peristiwa Mi’raj yang sudah sepantasnya kebenaran itu disandang bagi pelaku Isro’ Mi’roj

 

 

——— Penjelasan Nadhom –––

Kita wajib meyakini pada telah terjadinya Isro’ Mi’roj yang disampaikan nabi Muhamad SAW kepada umatnya serta atas difardhukannya sholat 5 waktu.

Sayidina Abu Bakar As Shidiq diberi keberuntungan sebab telah percaya dan membenarkan adanya peristiwa Isra’ Miroj nabi Muhamad SAW. Sebab itulah kemudian dia dijuluki As Shidiq yang artinya orang yang jujur dan benar.

 

& Respons Masyarakat Arab Setelah Rasulullah Pulang Isra Mi’raj

Perjalanan Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa yang ‘sulit dinalar logika’. Bagaima mungkin, perjalanan sejauh itu hanya dtiempu dalam satu malam. Perjalanan dari Masjidil Haram menuju Baitul Maqdis, dan dari Baitul Maqdis menuju langit dunia sampai akhirnya Nabi Muhammad saw bertemu dengan Rabb-nya langsung, tanpa ada penghalang (hijab).

Rasulullah menyadari kejadian yang dialaminya itu di luar nalar. Oleh karena itu beliau sudah berprasangka dan cemas terlebih dahulu, “Jangan-jangan umatku tidak akan mempercayai semua ini?” pikir Rasulullah. Tapi, bagaimana pun ini adalah kebenaran dan ini nyata. Beliau mengalami sendiri semua yang beliau rasakan pada perjalanan satu malam itu.

Sebagai sebuah kebenaran, harus beliau sampaikan. Bukankah salah sifat wajib nabi adalah shiddiq (jujur) dan amanah (dapat dipercaya)? Beliau tetap harus menyampaikan kisah ini apa adanya; tidak ditambah-tambahi ataupun dikurangi.

Peristiwa Isra’ Mi’raj ini merupakan ujian bagi umat Islam saat itu. Mereka yang tulus keimanannya, semakin bertambah iman. Sementara mereka yang imannya masih lemah, tidak sedikit yang menyatakan kufur.

Berkenaan dengan hal ini, Syekh Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M.) menuturkan,

“Ketika Rasulullah saw menceritakan kisah Isra’ Mi’raj pada kaumnya, banyak yang tidak percaya. Mereka yang semula beriman, banyak yang menjadi kufur. Sementara mereka yang tulus, semkain tambah keimanannya. Inilah mengapa disebut cobaan.”[13]

Berikut penulis jelaskan detik-detik Rasulullah saw menyampaikan kebenaran ini kepada kaumnya. Sebagaimana dituliskan oleh Syekh Abi al-Faraj Nuruddin ‘Ali Burhan[14], Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki[15] dan beberapa kitab terkait lainnya:

Perjalanan Isra’ Mir’aj telah usai. Rasulullah saw turun ke langit dunia dan sampai di Makkah menjelang waktu subuh. Beliau memasuki masjid. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal dalam diri Rasulullah. Jangan-jangan umatnya tidak akan mempercayainya? pikir beliau cemas.

Sampai Rasulullah bersedih. Lalu beliau duduk. Tiba-tiba Abu Jahal lewat dan menghampiri beliau. Abu Jahal duduk di samping Rasulullah.

Dengan nada seperti mengejek, Abu Jahal bertanya, “Apakah ada berita yang ajaib, Muhammad?!”

“Iya,” Jawab Rasulullah.

“Apa itu?” tanya Abu Jahal penasaran.

“Aku telah di-isra’kan tadi malam,” jawab Rasulullah.

“Ke mana?” tanya Abu Jahal.

“Ke Baitul Maqdis,” jawab Rasulullah.

“Loh kok, sepagi ini sudah berada di sini?” tanya Abu Jahal semakin penasaran. Bagaimana mungkin perjalanan sejauh itu ditempuh hanya dalam satu malam.

“Iya,” jawab Rasulullah.

Abu Jahal tidak mengingkari apa yang diucapkan Rasulullah. Jika begitu, ia khawatir Rasulullah akan berpaling. Justru ini kesempatan baginya untuk mempermalukan Rasulullah di depan umatnya.

“Kalau Muhammad menceritakan kisah tidak masuk akal ini pada umatnya, pasti banyak yang tidak percaya,” pikir Abu Jahal. Musuh Allah itu mulai menyiapkan rencana busuk.

“Wahai Muhammad! Bagaimana menurutmu, jika aku undang kaummu saja? Apakah kamu berkenan untuk menceritakan pada mereka tentang apa yang kau ceritakan padaku tadi?” Tawar Abu Jahal.

“Ya, saya mau,” jawab Rasulullah.

Tanpa pikir panjang. Abu Jahal pun melancarkan rencana busuknya itu. Dengan demikian, umat Muhammad tidak akan mempercayainya, pikir Abu Jahal.

“Wahai kaum keturunan Bani Ba’ab bin Lu’ayy! Datanglah kalian semua kemari!” seru Abu Jahal.

Singkat cerita, orang-orang berdatangan mendengar seruan Abu Jahal tadi. Mereka sudah berada di depan Rasulullah dan Abu Jahal duduk.

“Wahai Muhammad! Ceritakan pada kaummu, apa yang baru saja kau ceritakan padaku,” desak Abu Jahal.

Rasulullah pun mulai bercerita, “Sesungguhnya tadi malam saya telah di-isra’kan.”

“Ke mana?” orang-orang penasaran.

“Ke Baitul Maqdis.”

“Lalu, sepagi ini engkau sudah berada di tengah-tengah kami?”

“Iya, benar.”

Mendengar keganjilan itu, orang-orang mulai gaduh. Ada yang bertepuk tangan, ada pula yang meletakkan tangan di kepala sebagai ekspresi rasa kagum. Begitulah cara orang Arab mengekspresikan kekagumannya. Tampaknya rencana Abu Jahal mulai berhasil. Sebentar lagi kaumnya tidak mempercayainya lagi.

Salah seorang dari mereka yang bernama Muth’im bin ‘Adi berkata, “Wahai Muhammad! Sebelum ini, semua ceritamu biasa-biasa saja. Tapi sekarang tidak lagi,” ungkap Muth’im mengungkapkan keraguannya. (Muth’im adalah salah satu orang kafir saat itu).

“Saya bersaksi, bahwa sesungguhnya kamu itu bohong dan memang dasar pembohong. Kami saja pergi ke Baitul Maqdis dengan mengendarai unta butuh waktu satu bulan baru sampai. Apa mungkin kamu bisa sampai Baitul Maqdis hanya dalam satu malam?! Demi Latta dan Uzza, kami tidak mempercayainya!” lanjut Muth’im berusaha memprovokasi masyarakat.

Melihat sikap Muth’im, Sayidina Abu Bakar berkata, “Hai Muth’im! Sungguh hina ucapanmu kepada putra saudaramu sendiri. Kamu telah mempermalukan dan mendustakan keponakanmu sendiri!” tegas Abu Bakar. “Sementara itu, saya bersaksi bahwa Rasulullah adalah orang yang jujur,” tutur Abu Bakar melanjutkan.

Singkat cerita, orang-orang meminta bukti atas ucapan Nabi Muhammad saw. M

ereka meminta Rasulullah untuk menceritakan bentuk detail Baitul Baqdis. Rasulullah menuruti permintaan kaumnya dan menjelaskan dengan detail bentuk Baitul Maqdis seperti apa; arsitekturnya, jaraknya dari gunung, dan hal-hal lainnya.

Hanya satu yang tidak bisa beliau jelaskan, berapa jumlah pintu Baitul Maqdis.

Namun, atas kuasa Allah, Nabi Muhammad diperlihatkan gambar Baitul Maqdis di rumah ‘Aqil bin Abi Thalib. Rasulullah pun bisa menyebutkan jumlah pintu itu.

Setelah penjelasan Rasulullah itu, tiba-tiba Abu Bakar berkata, “Benar engkau ya Rasulullah! Engkau memang benar! Saya bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”

“Wahai Muhammad, ceritakan tentang rombongan unta kami!” lanjut orang-orang.

Rasulullah pun menjelaskan soal rombongan unta Bani Fulan yang beliau jumpai saat Isra’ di daerah Rukha’ yang sempat kehilangan untanya.

Beliau juga jelaskan semangkuk air milik mereka yang beliau minum. Beliau jelaskan unta-unta Bani Fulan itu; unta merah yang bermuatan karung hitam dan putih, unta terdepan berwarna kelabu dengan garis hitam. Rasulullah jelaskan pula bahwa rombongan unta itu tiba pada hari Rabu.

Orang-orang Quraisy kagum dengan apa yang baru saja Rasulullah ceritakan. Tidak ada yang meleset sedikit pun. Meski begitu, tidak kemudian mereka menyatakan beriman. Bahkan mereka yang kufur semakin kufur, tidak percaya.

Peristiwa ini juga menjadi ujian keimanan bagi orang muslim; mereka yang tulus beriman, semakin bertambah keimanannya. Sementara mereka yang masih lemah iman, tidak sedikit menjadi kufur.[16]



[1] Muhammad Husen Haikal, Hayatu Muhammad: 186

[2] Muhammad Husen Haikal, Hayatu Muhammad, hal 187

[3] KH Zakky Mubarak, Hari-hari Penuh Duka Menjelang Isra’ Mi’roj, (www.nu.or.id), diakses tanggal 04 September 2022.

[4] Safyurrahman al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, (Muntada at-Tsaqafah), hlm. 103

[5] Safyurrahman al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, hlm. 103

[6] Dr. Ali Muhammad as-Shallabi, as-Sirah an-Nabawiyah ‘Ardlu Waqa’i wa Tahlil Ahdats, (Cetakan Dar al-Fikr, Beirut), hlm. 226-227

[7] Dr Ali Muhammad as-Shallabi, as-Sirah an-Nabawiyah ‘Ardlu Waqa’i wa Tahlil Ahdats, (Cetakan Dar al-Fikr, Beirut), hlm. 227.

[8] Safyurrahman al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, (Muntada at-Tsaqafah), hlm. 159.

[9] Muhammad Abror, Rangkaian Isro Mi’roj yang Membentuk Karakter Nabi Muhamad, (www.nu.or.id), diakses tanggal 4 September 2022.

[10] Yusuf Suharto, Penglihatan Rasulullah Ketika Isra dan Miraj, mimpi atau kasat mata, (www.nu.or.id), diakses tanggal 4 September 2022.

[11] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Ayatul Kubra fi Syarhi Qisshatil Isra, (Kairo: Darul Hadits, 2002 M), halaman 59

[12] M Alvin Nur Choironi, Kenapa Isra dan Miraj Terjadi di Malam Hari?, (www.nu.or.id), diakses tanggal 4 September 2022.

[13] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 20, hlm. 238

[14] Abi al-Faraj Nuruddin ‘Ali BurhanSirah al-Halbiyah, juz 1, hlm. 1-3.

[15] Muhammad ‘Alawi al-Malikial-Anwar al-Ilahiyyah fi Isra’i wal Mi’raji Khairil Bariyyah (hlm. 79

[16] Muhammad Abror, Respon Orang Arab Setelah Rasulullah Pulang Isra Mi’raj, (www.nu.or.id), diakses tanggal 4 September 2022.

 

Komentar