﴿ الْبَابُ الْحَادِى عَشَرَ ﴾
Isro’ Mi’roj
وَقَبْـلَ هِجْـرَةِ
النَّـبِيِّ اْلإِسْرَا * مِـنْ مَـكَّةَ لَيْلاً لِقُدْسٍ يُدْرَى
Dan sebelum Nabi Hijrah (ke Madinah), terjadi
peristiwa Isro’. Dari Makkah pada malam hari menuju Baitul Maqdis yang dapat
dilihat
وَبَعْدَ إِسْـرَاءٍ
عُرُوْجٌ لِلسَّـمَا * حَتَّى رَأَى النَّـبِيُّ رَبًّـا كَـلَّمَا
Setelah Isro’ lalu Mi’roj (naik) keatas sehingga
Nabi melihat Tuhan yang berkata-kata
مِنْ غَيْرِكَيْفٍ
وَانْحِصَارٍ وَافْـتَرَضْ * عَلَيْهِ خَمْسًا بَعْدَ خَمْسِيْنَ فَرَضْ
Berkata-kata tanpa bentuk dan ruang. Di sinilah
diwajibkan kepadanya (sholat) 5 waktu yang sebelumnya 50 waktu
Penjelasan Nadhom
Orang mukalaf wajib meyakini bahwa nabi Muhamad SAW di-Isro’kan
(perjalanan malam hari mulai dari Masjidil Haram sampai ke Masjidil Aqsa) dan
di-Mi’rojkan, artinya dinaikkan sampai ke Mustawa. Kira-kira kurang 1 tahun
dari hijrah nabi SAW ke Madinah.
Saat itu nabi Muhamad SAW menerima firman Allah supaya melaksanakan
sholat 5 waktu bersama seluruh umat beliau. Ketika Mi’roj, nabi Muhamad SAW
dapat melihat Allah yang tidak seperti apapun.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِى السَّمَاءِ وَهُوَ
السَّمِيْعُ الْعَلِيْم .
& Hari-hari
Penuh Duka Menjelang Isra' Mi'raj
Ada dua peristiwa penting yang melatarbelakangi terjadinya isra’ mi’raj
Nabi Muhammad saw. Dua peristiwa itu amat berkesan dalam hati beliau, peristiwa
yang diliputi dengan duka yang senantiasa menekan dadanya. Demikian berat
peristiwa itu dirasakan oleh Nabi, sehingga para ahli sejarah menyebutnya
dengan istilah “Aam al-Huzni” atau tahun kesedihan.
Peristiwa pertama adalah wafatnya Abu Thalib, seorang paman yang sangat
dicintai, paman yang selama bertahun-tahun memeliharanya. Sejak beliau berusia
delapan tahun sampai diantar ke gerbang kebahagiaan ketika ia menikah dengan
Khadijah dalam usia 25 tahun.
Abu Thalib sangat mencintai Nabi, ia senantiasa melindungi dari berbagai
tantangan dan rongrongan yang datang dari kaum musyrik Quraisy. Ia yang menjadi
pelindung dan perisai bagi Nabi dari segala tindakan musuh. Ia juga pemimpin
Quraisy yang amat berwibawa dan disegani berbagai kalangan.
Peristiwa kedua adalah wafatnya Sayyidah Khadijah, istri yang sangat
beliau cintai dan ia pun sangat mencintainya. Istri yang senantiasa
mendampinginya selama bertahun-tahun dalam segala suka dan duka. Khadijah
adalah wanita bangsawan Quraisy yang memiliki sifat keibuan yang luhur. Ia
selalu berusaha membahagiakan Nabi dalam segala kehidupannya dan senantiasa
mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukannya.
Perananan Khadijah begitu besar dalam perjuangan Nabi Muhammad. Ia
senantiasa menghibur Nabi dari segala kesedihannya. Ia juga selalu berusaha
membela Nabi dari segala rintangan dan tantangan. Sampai khadijah wafat, Nabi
tidak pernah nikah dengan siapapun, dialah istri satu-satunya yang beliau
cintai. Demikian besarnya cinta dan kasih sayang Nabi pada Khadijah, sehingga
setelah ia wafat Nabi selalu mengingatnya.
Setelah Nabi menikah dengan ‘Aisyah sepeninggal beliau, meskipun ‘Aisyah
seorang wanita yang sangat cantik dan cerdas, ia tidak bisa menggeser kedudukan
Khadijah dalam diri Nabi. Mengenai Khadijah yang kedudukannya tidak bisa
digeser siapapun di samping Nabi, beliau mengatakan:
“Allah tidak menggantikan untukku seorang yang lebih baik dari Khadijah,
ia seorang yang pertama kali beriman kepadaku, pada saat orang lain mendustakan
aku. Ia yang senantiasa mencintaiku tatkala banyak orang membenciku. Ia
korbankan harta kekayaannya dalam rangka membela agama”.
Setelah kehilangan dua orang yang dicintainya itu, Nabi Muhammad semakin
menjumpai berbagai kesulitan. Tekanan orang-orang Quraisy dirasakan semakin
keras saja. Dua peristiwa di atas akan meninggalkan luka yang parah dalam
jiwa manusia, bagaimanapun ia kuat dan tabahnya. Ia akan menimbulkan
benih-benih keputusasaan dalam jiwa seseorang, andaikata tidak dibekali dengan
iman yang kuat.
Sepeninggal keduanya, terus-menerus beliau menghadapi permusuhan dan
penghinaan dari kaumnya, sehingga beliau pernah dilempari dengan tanah yang
kotor, sehingga mengenai seluruh kepalanya. Dengan bekas tanah masih menempel
di kepalanya.
Fatimah putrinya yang sangat beliau cintai, membersihkan tanah itu. Ia
membersihkannya sambil menangis, mencucurkan air mata, tanda kesedihan yang
sangat mendalam. Tak ada yang lebih sakit rasanya dalam kalbu seseorang ayah
daripada mendengar isak tangis anaknya, lebih-lebih yang mencucurkan air mata
itu adalah anak perempuan. Setetes air mata kesedihan yang menitik dari kelopak
mata seorang putri adalah sepercik api yang membakar jantung. Ia juga secercah
duka yang menyelinap jauh ke lubuk hati dalam rintihan jiwa yang menyedihkan.
Rasul Muhammad saw adalah seorang ayah yang sangat bijaksana dan penuh
kasih kepada anak-anaknya. Yang kita lihat dari reaksi beliau terhadap tangisan
anak perempuannya, yang merasa sedih dan duka karena malapetaka yang menimpa
ayahnya.
Peristiwa yang mengharukan itu beliau hadapi dengan kesabaran dan
berlapang dada. Semuanya dikembalikan kepada Allah dengan penuh iman dan taqwa.
Ia berkata kepada putrinya:
“Jangan menangis anakku sesungguhnya Allah akan melindungi ayahmu”.[1]
Karena tekanan dan penghinaan orang-orang Quraisy terhadap Rasul semakin
gencar, terlintas olehnya untuk melakukan perjalanan ke Thaif, berdakwah kepada
penduduk negeri itu. Rasul menaruh harapan semoga kaum Tsaqif yang menduduki
wilayah Thaif yang amat subur dengan udara sejuk itu mau menerima agama Allah
swt. Thaif sebuah kota kecil yang kini sering dipakai tempat peristirahatan di
musim panas karena hawanya sejuk, berjarak 60 km sebelah timur laut Kota
Makkah.
Sesampainya di Thaif, setelah mengadakan perjalanan yang melelahkan
dengan terik panas matahari yang menyengat, Nabi memasuki kota itu dengan penuh
harapan. Ia berharap semoga penduduk Thaif mau menerima kedatangan dan
dakwahnya yang senantiasa ia perjuangkan.
Harapan dan keinginan Nabi menjadi sirna, ketika beliau memasuki kota
itu dengan sambutan yang sangat mengecewakan. Penduduk Thaif ternyata amat
bengis, mereka menolak kedatangan Nabi Muhammad, dakwahnya mereka tolak dengan
kasar. Demikian kasarnya sikap mereka kepada Nabi, sehingga mereka
mengkhianati kebiasaan bangsa Arab, yang selalu menghormati tamunya.
Orang-orang Thaif mengusir Nabi dengan kasar, bahkan dilempari dengan
batu. Nabi segera menghindari mereka, berlindung di bawah pohon anggur milik
Uthbah dan Syaibah. Kaki beliau mengucurkan darah sehingga melengket di
sandalnya karena darah yang mengering.
Menghadapi penghinaan yang teramat keras, Nabi tidak mengutuk mereka,
bahkan beliau menyampaikan do’a: ”Wahai Tuhanku, tunjukilah kaumku, karena
sesungguhnya mereka belum mengetahui”.
Di tempat itu, beliau menengadah ke langit, hanyut dalam suatu do’a
pengaduan yang sangat mengharukan.
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُوْ إِلَيْكَ ضَعْفَ
قُوَّتِيْ وَقِلَّةَ حِيْلَتِيْ وَهَوَانِيْ عَلَى النَّاسِ أَنْتَ رَبُّ
الْعَالَمِيْنَ وَأَنْتَ رَبُّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ وَأَنْتَ رَبِّيْ إِلَى مَنْ
تَكِلُنِيْ إِلَى بَعِيْدٍ يَتَجَهَّمُنِيْ أَمْ إِلَى عَدُوٍّ مَلَكْتَهُ
أَمْرِيْ؟ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ عَلَيَّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِيْ غَيْرَ أَنَّ
عَافِيَتَكَ هِيَ أَوْسَعُ لِيْ. أَعُوْذُ بِنُوْرِ وَجْهِكَ الَّذِيْ أَشْرَقَتْ
لَهُ الظُّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَنْ يَحِلَّ
عَلَيَّ غَضَبُكَ أَوْ أَنْ يَنْزِلَ بِيَ سُخْطُكَ لَكَ الْعُتْبَى حَتَّى
تَرْضَى وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلَّا بِكَ.
“Wahai Allah Tuhanku, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan diriku,
kekurangan daya upayaku dan kehinaanku dihadapan sesama manusia. Wahai Allah
Yang Maha Kasih dari segala kasih, Engkau adalah pelindung orang-orang yang
lemah dan teraniaya. Engkau adalah pelindungku. Tuhanku, kepada siapa Engkau
serahkan diriku? Apakah kepada orang jauh yang membenciku atau kepada musuh
yang menguasai diriku. Tetapi asal Kau tidak murka padaku, aku tidak perduli
semua itu. Rahmat dan karunia-Mu lebih luas bagiku, aku berlindung dengan
cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan, yang karenanya membawa kebahagiaan
bagi dunia dan akhirat, daripada murka-Mu yang akan Kau timpakan kepadaku.
Engkaulah yang berhak menegurku sehingga Engkau meridhaiku. tiada daya dan
upaya kecuali dari-Mu”.[2]
Munajat dan doa pengaduan tersebut kemudian dikenal dengan nama doa
Thaif. Demikianlah peristiwa-peristiwa penting yang terus menguji ketabahan
Nabi, menjelang beliau mendapatkan kehormatan yang agung, yaitu peristiwa isra’
dan mi’raj. Kita hendaknya dapat mengambil pelajaran tersebut sebagai teladan
bagi kita dalam mengarungi kehidupan. Dalam doa itu Nabi mendekatkan diri pada
Tuhannya dengan merasakan kelemahan dirinya dan ketidakmampuannya.
Sikap merendahkan diri dan mengakui kelemahan serta kekurangan di
hadapan Allah adalah merupakan ciri dari seseorang manusia yang imannya
sempurna. Penghambaan diri di hadapan Allah adalah merupakan realisasi dari
ikrar kita dalam surat al-Fatihah "Iyyaka Na’budu wa iyyaka
Nasta’in”, hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan.
Dalam doa itu juga ditegaskan dengan penuh keyakinan bahwa hanya kepada
Allah sajalah tempat berlindung dan tempat memohon segala pertolongan.
Selanjutnya Nabi menegaskan bahwa sekiranya semua orang membencinya atau
memusuhinya, hal itu tidak ada masalah, asal Allah meridhainya. Keridhaan Allah
adalah dambaan setiap orang yang beriman, sedangkan rahmat-Nya dapat
mengalahkan segala kesulitan yang diderita umat manusia, betapa pun beratnya.
Banyak orang yang kelihatannya menderita dalam kehidupan dunia, tetapi
sebenarnya merasakan kebahagiaan batin yang tidak dirasakan orang lain. Seorang
yang bertakwa kepada Allah swt. dengan takwa yang setinggi-tingginya akan
merasakan bahagia meskipun dalam kesederhanaan materi, ia akan merasa ramai
meskipun sendirian, ia akan merasa berani meskipun tanpa pendukung. Ia akan
memiliki dada yang lapang, bagaikan samudera yang tidak bertepi, bila
memperoleh nikmat ia bersyukur dan bila terkena musibah ia tabah dan sabar.[3]
& Rangkaian Isra’ Mi’raj yang Membentuk Karakter Nabi
Sebagai Nabi terakhir (khatamun nabiyyin), Rasulullah
Muhammad SAW mengemban misi yang tidak ringan. Rintangan demi rintangan beliau
alami dalam mendakwahkan ajaran Islam. Namun, beliau sudah di-backing langsung
oleh Allah Swt. dalam menjalankan misi dakwahnya. Nabi pernah bersabda,
أَدَّبَنِي رَبِّي فَأحْسن
تَأْدِيِبْي
“Allah telah membimbingku dengan bimbingan yang sempurna.”
Salah satu skenario cantik Allah SWT. dalam membimbing Nabi adalah
ketika menjelang hijrah ke Madinah. Sebelum hijrah ke kota kaum Anshar itu,
Allah telah menempa Nabi melalui perjalanan Isra’ Mi’raj. Perjalanan malam
agung yang penuh hikmah.
Tidak hanya itu, sebelum Nabi melakukan Isra Mi’raj, Allah telah menempa
Nabi dengan cobaan demi cobaan yang berperan penting dalam membentuk karakter
tangguh Nabi Muhammad.
Nabi sebelum Di-isra’-kan
Dalam berbagai kitab yang menjelaskan sejarah Nabi saw, seperti Sirah
Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, Rahiq al-Makhtum karya Safyurrahman
al-Mubarakfuri, dan Sirah Nabawiyah Durus wa ‘Ibar karya Musthafa
as-Siba’i, kehidupan Nabi fase Mekah diwarnai dengan penuh tekanan dan
penindasan.
Tidak hanya itu, Nabi juga kehilangan orang-orang tercinta tempat beliau
mengadu dan melepas lelah. Sejak masih di kandungan, ayah tercinta wafat. Baru
usia 6 tahun ibunda tercinta pergi. Usia 8 tahun sang kakek yang merawatnya
dengan penuh kasih sayang juga meninggalkannya.
Setelah itu disusul paman yang juga merawatnya penuh cinta. Lalu
berikutnya kepergian Khadijah, istri tercinta, istri yang selalu menguatkan
jika Nabi dalam keresahan, termasuk saat Nabi goncang didekap Jibril untuk
menerima wahyu pertama.
Para sejarawan kemudian menamai tahun kewafatan orang-orang tersayang
yang silih berganti itu dengan nama tahun kesedihan (‘amul huzni).
Beban Nabi Muhammad di Makkah bukan hanya dengan meninggalnya orang-orang
tersayang, tapi juga penindasan demi penindasan oleh orang-orang Quraisy yang
merasa terusik dengan agama baru yang dibawanya. Bahkan, beberapa kali nyawa
nabi terancam.
Rasanya tak sampai hati menceritakan detail kisah-kisah pilu itu.
Safsyurrahman al-Mubarakfuri, Sejarawan yang meraih juara satu penulisan sirah
nabawiyah terbaik, sampai menuliskan judul khusus untuk model-model yang
digunakan orang Quraisy dalam rangka melumpuhkan misi dakwah Nabi saw.
Tidak hanya itu, dalam karya monumentalnya yang berjudul Rahiq
al-Maktum, Safyurrahman juga membuat judul yang membahas beragam ekspresi
penganiayaan yang dialami Nabi dan umatnya saat di kota Makkah. Sebagai contoh
saja, dalam Rahiq al-Maktum dijelaskan bagaimana Abu Lahab, salah satu
dedengkot musuh Islam paling kejam, ia selalu menguntit di belakang Rasulullah
saat musim haji dan di pasar-pasar sebagai upaya mendustakannya. Lebih dari
itu, Abu Lahab juga memukuli Rasulullah dengan batu sampai kedua tumit beliau
berdarah.[4]
Tidak mau kalah dengan suaminya, Ummu Jamil, istri yang juga tidak jauh
beda ‘nakalnya’, ia gemar mencaci, menyebar hoaks, menyulut api fitnah serta
mengobarkan perang membabibuta terhadap Nabi. Ia juga pernah membawa duri dan
memasangnya di jalan yang biasa dilalui oleh Rasulullah. Al-Quran kemudian
menjulukinya dengan Hammalah al-Hatab (wanita pembawa kayu bakar).[5]
Isra’ Mi’raj untuk Menghibur Nabi
Setelah masa-masa penuh cobaan Nabi lalui dan kesedihan demi kesedihan
Nabi alami, Allah swt memberikan nabi waktu untuk refleksi dan rekreasi dengan
adanya peristiwa Isra Mi’raj. Pada peristiwa itu, Nabi dipertemukan nabi-nabi
terdahulu, diperlihatkan hal-hal gaib, sampai pada puncaknya, Nabi bertemu
langsung dengan Rabb-nya, tanpa ada penghalang (hijab).
Dr Ali Muhammad as-Shallabi menjelaskan,
“Setelah cobaan demi cobaan Nabi lalui, tibalah peristiwa Isra' Mi’raj
sesuai rencana Allah Swt. Allah memi’rajkan Nabi. Memuliakannya atas kesabaran
dan perjuangan yang telah ditempuhnya. Bertemu dengan Rabb-nya tanpa ada
penghalang, melihat hal-hal gaib yang tidak bisa dilihat makhluk-makhluk
selainnya, berkumpul dengan nabi-nabi yang lain dan menjadi imam shalat bagi
mereka. Ia lah pemungkas para nabi-nabi.”[6]
Hijrah ke Madinah Setelah fase dakwah di Mekah selama 13 tahun dengan
segala dinamikanya disertai peristiwa Isra' Mi’raj, kiranya cukup waktu selama
itu untuk membentuk karakter Nabi yang tangguh dalam mengemban misi risalah
berikutnya di Kota Madinah.
Dr Ali Muhammad as-Shallabi menjelaskan bahwa, selama fase dakwah di
Mekah dengan penuh rintangan dan cobaan, kiranya semua itu telah membentuk
karakter Nabi yang tangguh. Begitu pula orang-orang yang sudah menyatakan masuk
Islam, waktu selama itu sudah membuat keimanan mereka kuat. Jumlah muslim yang
semakin banyak membuat mereka kuat dan siap untuk melanjutkan dakwah di
lingkungan baru, Madinah.[7]
Dengan bekal pengalaman dakwah selama di Makkah, Nabi bersama
orang-orang Muslim lebih memiliki konsep yang matang. Meski, tentu saja, fase
awal di Madinah pun banyak rintangan dan tantangan.
Safyurrahman al-Mubarakfuri mengklasifikasikan tiga tahapan selama
dakwah di Madinah:[8]
Pertama, tahapan yang warnai dengan suasana instabilitas,
problem-problem internal dan serangan dari penduduk Makkah.
Kedua, tahapan gencatan senjata bersama para pemimpin Kaum Paganis yang
diakhiri dengan peristiwa Fathu Makkah (penaklukkan kota Mekah) pada bulan
Ramadhan tahun 8 H.
Ketiga, tahapan berbondong-bondongnya orang masuk Islam sampai Nabi
wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun ke-11 H.[9]
& Penglihatan
Rasulullah ketika Isra' dan Mi’raj, Mimpi atau Kasatmata?
Allah berfirman dalam Surat Al-Isra' ayat 60:
وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلا
فِتْنَةً لِلنَّاسِ
Artinya: "Dan kami tidak menjadikan penglihatan yang telah
Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia."
Di antara mufasirin ada yang memahami bahwa "ar-ru'ya" pada
ayat ini bermakna mimpi. Yaitu mimpi Rasulullah tentang Perang Badar sebelum
perang itu terjadi. Kenyataannya, banyak mufasirin yang mengartikannya sebagai
penglihatan kasatmata Rasulullah dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Namun ada juga yang menyatakan bahwa Surat Al Isra' ayat 60 itu adalah
dalil bahwa Rasulullah itu Isra’ dan Mi’raj-nya melalui penglihatan mimpi,
yaitu dengan memahami ru'ya itu sebagai penglihatan dalam mimpi.
Benarkah demikian?
Tentu pandangan tersebut menyelisihi keyakinan mayoritas ulama, yang
menyatakan bahwa Isra' dan Mi'raj-nya Rasulullah itu dengan sadar ruh dan
jasad.
Syekh Abul Hasan al-Wahidy (w. 467 H) dalam Tafsir Al-Quran
Al-Aziz menyatakan bahwa ru'ya dalam ayat ini berhubungan dengan peristiwa
Isra'-nya Rasulullah dan hal itu dengan penglihatan terjaga.
Syekh Nawawi Banten dalam Tafsir Marah Labid menyatakan:
"(Penglihatan itu) pada malam Mi'raj, yaitu apa-apa yang dilihat
oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam dalam keadaan sadar; dengan kedua
mata kepala beliau dari keajaiban-keajaiban bumi dan langit."
Di bawah ini bukti riwayat bahwa Rasulullah itu melihat dengan
mata kepala sendiri. Pertama, kita lihat riwayat Ibn Abbas. Dikutip oleh
Al Hafidz Jalaluddin as Suyuthi dalam ad-Durrul Mantsur;
“Ibn Abbas (menafsiri Al Isra' ayat 60) menyatakan bahwa itu adalah
penglihatan mata yang diperlihatkan kepada Rasulullah pada malam beliau
di-isra'-kan ke Baitul Maqdis, dan bukan penglihatan tidur (mimpi).”
Kedua, riwayat dari Ummi Hani' bahwa ketika Rasulullah mendeskripsikan
Baitul Maqdis secara tepat maka ada yang menyebut beliau sebagai seorang
penyihir. Karena itulah turun ayat ini yang menjelaskan bahwa rukya itu menjadi
fitnah bagi manusia yang ingkar.
Menafsirkan ayat tersebut, al-Hafidz Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Tafsir
Al-Quran Al-Karim menyatakan:
“Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu
Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah, dari
Ibnu Abbas, sehubungan dengan Al-Isra: 60 bahwa yang dimaksud dengan
"rukya" dalam ayat ini ialah pemandangan mata yang diperlihatkan
kepada Rasulullah di malam Isra. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Abdur Razzaq, dan lain-lainnya, dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan
sanad yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari
Ibnu Abbas. Hal yang sama telah ditafsirkan oleh Mujahid, Sa’id ibnu
Jubair, Al-Hasan, Masruq, Ibrahim, Qatadah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid serta
lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa hal itu terjadi di malam Isra’.”
“Dalam kisah Isra’ disebutkan bahwa ada segolongan orang menjadi murtad
dari agama yang hak setelah mendengar kisah ini; karena kisah ini tidak dapat
diterima oleh hati dan akal mereka, maka mereka mendustakannya. Akan tetapi,
Allah menjadikan kisah ini sebagai kekokohan iman dan keyakinan sebagian
manusia lainnya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya إِلا
فِتْنَةً (melainkan sebagai ujian). Yakni sebagai
cobaan dan ujian buat mereka.".[10]
& Kenapa Isra dan Mi’raj Terjadi di Malam Hari?
Isra dan mi‘raj merupakan peristiwa yang terjadi di malam hari. Hal ini
ditegaskan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Isra ayat pertama:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya, “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkati
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sungguh Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Walaupun ada beberapa hadits dan pendapat yang menjelaskan waktu
terjadinya Isra Mi‘raj, tetapi dari ayat di atas sudah cukup jelas bahwa Isra
dan Mi‘raj terjadi di malam hari. Hal ini tentu memunculkan pertanyaan di benak
kita, mengapa harus malam hari? Mengapa tidak siang hari saja?
Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya, Al-Ayatul Kubra fi Syarhi
Qisshatil Isra menjelaskan beberapa alasan mengapa Allah menjadikan malam
sebagai waktu terjadinya peristiwa Isra dan mi‘raj:[11]
Pertama, karena malam adalah waktu yang tepat untuk melakukan khalwah
(menyepi) dan pengkhususan.
“Ibnu Munir berpendapat bahwa peristiwa Isra terjadi di malam hari
karena malam merupakan waktu yang tepat untuk menyepi serta biasanya sebagai
waktu yang tepat untuk mengkhususkan amalan.”
Kedua, karena malam adalah waktu diwajibkannya shalat. Hal ini
didasarkan pada firman Allah SWT:
قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا
قَلِيْلًا
Artinya, “Dirikanlah shalat di malam hari, kecuali sedikit,” (Surat
Al-Muzammil ayat 2).
Ketiga, sebagai sebuah ujian bagi para Mukmin untuk percaya terhadap
hal-hal yang ghaib, hal-hal yang tidak dapat dicerna oleh akal, serta sebagai
ujian bagi orang-orang kafir. Apakah ia tetap ingkar dengan risalah nabi, atau
akan beriman.
Keempat, karena malam merupakan waktu yang mulia. Hal ini disebabkan
karena ada beberapa peristiwa yang terjadi di waktu malam, khususnya
kisah-kisah istimewa yang terjadi dalam kehidupan para nabi sebelum Nabi
Muhammad SAW. Di antaranya, kisah Nabi Ibrahim yang awalnya menganggap
bintang-bintang sebagai Tuhan, kemudian sadar bahwa bintang-bintang tersebut
ternyata bukan Tuhan karena ia menghilang. Hal ini terekam dalam Surat Al-An’am
ayat 76:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَىٰ كَوْكَبًا
ۖ قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ
Artinya, “Ketika malam telah gelap, ia melihat sebuah bintang
(lalu) ia berkata, ‘Inilah Tuhanku,’ tetapi tatkala bintang itu tenggelam ia
berkata, ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam.’”
Selain itu, malam juga menjadi waktu dikabulkannya doa Nabi Yaqub AS
sesuai firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 98.
Selain dua kisah tersebut masih ada beberapa kisah lagi yang menunjukkan
kemuliaan malam dalam kehidupan para nabi sebelumnya. Hal ini sekaligus juga
sebagai bantahan untuk para filsuf yang menganggap bahwa malam merupakan waktu
yang hina.
Kelima, karena malam adalah waktu yang tepat untuk berkumpul dengan
orang-orang yang kita cintai. Maka dari itu, Allah memberangkat Rasul pada
malam hari.
Keenam, malam merupakan satu-satunya waktu yang dijanjikan Allah sebagai
waktu yang terbaik dari seribu bulan (lailatul qadar). Tidak ada waktu lain
selain malam yang memiliki keistimewaan seperti ini.
Ketujuh, malam adalah waktu turunnya wahyu yang pertama.
Kedelapan, malam adalah waktu dikabulkannya doa. Berbeda dengan siang,
hanya hari Jumat satu-satunya waktu siang yang memiliki keutamaan tersebut.
Kesembilan, karena malam adalah waktu yang tepat untuk menyegarkan
pikiran, dengan istirahat. Sedangkan pagi diciptakan Allah untuk mencari
penghasilan.
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Furqan ayat 47:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِبَاسًا
وَالنَّوْمَ سُبَاتًا وَجَعَلَ النَّهَارَ نُشُورًا
Artinya, “Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai)
pakaian, dan tidur untuk istirahat. Dia menjadikan siang untuk bangun
berusaha.”.[12]
.......................................
وَبَـلَّـغَ اْلأُمَّـةَ
بِاْلإِسْــرَاءِ * وَفَـرْضِ خَـمْـسَةٍ بِلاَ امْتِرَاءِ
Dan Nabi telah menyampaikan kepada umat
peristiwa Isro’ tersebut. Dan kewajiban sholat 5 waktu tanpa keraguan
قَدْ فَازَ صِـدِّيْقٌ
بِتَصْـدِيْقٍ لَهُ * وَبِالْعُرُوْجِ الصِّـدْقُ وَافَى أَهْلَهُ
Sungguh beruntung sahabat Abubakar As-Shiddiq
dengan membenarkan peristiwa tersebut, juga peristiwa Mi’raj yang sudah
sepantasnya kebenaran itu disandang bagi pelaku Isro’ Mi’roj
Penjelasan Nadhom
Kita wajib meyakini pada telah terjadinya Isro’ Mi’roj yang disampaikan
nabi Muhamad SAW kepada umatnya serta atas difardhukannya sholat 5 waktu.
Sayidina Abu Bakar As Shidiq diberi keberuntungan sebab telah percaya
dan membenarkan adanya peristiwa Isra’ Miroj nabi Muhamad SAW. Sebab itulah
kemudian dia dijuluki As Shidiq yang artinya orang yang jujur dan benar.
& Respons
Masyarakat Arab Setelah Rasulullah Pulang Isra Mi’raj
Perjalanan Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa yang ‘sulit dinalar logika’.
Bagaima mungkin, perjalanan sejauh itu hanya dtiempu dalam satu malam.
Perjalanan dari Masjidil Haram menuju Baitul Maqdis, dan dari Baitul Maqdis
menuju langit dunia sampai akhirnya Nabi Muhammad saw bertemu dengan Rabb-nya
langsung, tanpa ada penghalang (hijab).
Rasulullah menyadari kejadian yang dialaminya itu di luar nalar. Oleh
karena itu beliau sudah berprasangka dan cemas terlebih dahulu, “Jangan-jangan
umatku tidak akan mempercayai semua ini?” pikir Rasulullah. Tapi, bagaimana pun
ini adalah kebenaran dan ini nyata. Beliau mengalami sendiri semua yang beliau
rasakan pada perjalanan satu malam itu.
Sebagai sebuah kebenaran, harus beliau sampaikan. Bukankah salah sifat
wajib nabi adalah shiddiq (jujur) dan amanah (dapat dipercaya)? Beliau tetap
harus menyampaikan kisah ini apa adanya; tidak ditambah-tambahi ataupun
dikurangi.
Peristiwa Isra’ Mi’raj ini merupakan ujian bagi umat Islam saat itu.
Mereka yang tulus keimanannya, semakin bertambah iman. Sementara mereka yang
imannya masih lemah, tidak sedikit yang menyatakan kufur.
Berkenaan dengan hal ini, Syekh Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M.)
menuturkan,
“Ketika Rasulullah saw menceritakan kisah Isra’ Mi’raj pada kaumnya,
banyak yang tidak percaya. Mereka yang semula beriman, banyak yang menjadi
kufur. Sementara mereka yang tulus, semkain tambah keimanannya. Inilah mengapa
disebut cobaan.”[13]
Berikut penulis jelaskan detik-detik Rasulullah saw menyampaikan
kebenaran ini kepada kaumnya. Sebagaimana dituliskan oleh Syekh Abi al-Faraj
Nuruddin ‘Ali Burhan[14],
Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki[15] dan
beberapa kitab terkait lainnya:
Perjalanan Isra’ Mir’aj telah usai. Rasulullah saw turun ke langit dunia
dan sampai di Makkah menjelang waktu subuh. Beliau memasuki masjid. Tapi, ada
sesuatu yang mengganjal dalam diri Rasulullah. Jangan-jangan umatnya tidak akan
mempercayainya? pikir beliau cemas.
Sampai Rasulullah bersedih. Lalu beliau duduk. Tiba-tiba Abu Jahal lewat
dan menghampiri beliau. Abu Jahal duduk di samping Rasulullah.
Dengan nada seperti mengejek, Abu Jahal bertanya, “Apakah ada berita
yang ajaib, Muhammad?!”
“Iya,” Jawab Rasulullah.
“Apa itu?” tanya Abu Jahal penasaran.
“Aku telah di-isra’kan tadi malam,” jawab Rasulullah.
“Ke mana?” tanya Abu Jahal.
“Ke Baitul Maqdis,” jawab Rasulullah.
“Loh kok, sepagi ini sudah berada di sini?” tanya Abu Jahal semakin
penasaran. Bagaimana mungkin perjalanan sejauh itu ditempuh hanya dalam satu
malam.
“Iya,” jawab Rasulullah.
Abu Jahal tidak mengingkari apa yang diucapkan Rasulullah. Jika begitu,
ia khawatir Rasulullah akan berpaling. Justru ini kesempatan baginya untuk
mempermalukan Rasulullah di depan umatnya.
“Kalau Muhammad menceritakan kisah tidak masuk akal ini pada umatnya,
pasti banyak yang tidak percaya,” pikir Abu Jahal. Musuh Allah itu mulai
menyiapkan rencana busuk.
“Wahai Muhammad! Bagaimana menurutmu, jika aku undang kaummu saja?
Apakah kamu berkenan untuk menceritakan pada mereka tentang apa yang kau
ceritakan padaku tadi?” Tawar Abu Jahal.
“Ya, saya mau,” jawab Rasulullah.
Tanpa pikir panjang. Abu Jahal pun melancarkan rencana busuknya itu.
Dengan demikian, umat Muhammad tidak akan mempercayainya, pikir Abu Jahal.
“Wahai kaum keturunan Bani Ba’ab bin Lu’ayy! Datanglah kalian semua
kemari!” seru Abu Jahal.
Singkat cerita, orang-orang berdatangan mendengar seruan Abu Jahal tadi.
Mereka sudah berada di depan Rasulullah dan Abu Jahal duduk.
“Wahai Muhammad! Ceritakan pada kaummu, apa yang baru saja kau ceritakan
padaku,” desak Abu Jahal.
Rasulullah pun mulai bercerita, “Sesungguhnya tadi malam saya telah
di-isra’kan.”
“Ke mana?” orang-orang penasaran.
“Ke Baitul Maqdis.”
“Lalu, sepagi ini engkau sudah berada di tengah-tengah kami?”
“Iya, benar.”
Mendengar keganjilan itu, orang-orang mulai gaduh. Ada yang bertepuk
tangan, ada pula yang meletakkan tangan di kepala sebagai ekspresi rasa kagum.
Begitulah cara orang Arab mengekspresikan kekagumannya. Tampaknya rencana Abu
Jahal mulai berhasil. Sebentar lagi kaumnya tidak mempercayainya lagi.
Salah seorang dari mereka yang bernama Muth’im bin ‘Adi berkata, “Wahai
Muhammad! Sebelum ini, semua ceritamu biasa-biasa saja. Tapi sekarang tidak
lagi,” ungkap Muth’im mengungkapkan keraguannya. (Muth’im adalah salah satu
orang kafir saat itu).
“Saya bersaksi, bahwa sesungguhnya kamu itu bohong dan memang dasar
pembohong. Kami saja pergi ke Baitul Maqdis dengan mengendarai unta butuh waktu
satu bulan baru sampai. Apa mungkin kamu bisa sampai Baitul Maqdis hanya dalam
satu malam?! Demi Latta dan Uzza, kami tidak mempercayainya!” lanjut Muth’im
berusaha memprovokasi masyarakat.
Melihat sikap Muth’im, Sayidina Abu Bakar berkata, “Hai Muth’im! Sungguh
hina ucapanmu kepada putra saudaramu sendiri. Kamu telah mempermalukan dan
mendustakan keponakanmu sendiri!” tegas Abu Bakar. “Sementara itu, saya
bersaksi bahwa Rasulullah adalah orang yang jujur,” tutur Abu Bakar
melanjutkan.
Singkat cerita, orang-orang meminta bukti atas ucapan Nabi Muhammad saw.
M
ereka meminta Rasulullah untuk menceritakan bentuk detail Baitul Baqdis.
Rasulullah menuruti permintaan kaumnya dan menjelaskan dengan detail bentuk
Baitul Maqdis seperti apa; arsitekturnya, jaraknya dari gunung, dan hal-hal
lainnya.
Hanya satu yang tidak bisa beliau jelaskan, berapa jumlah pintu Baitul
Maqdis.
Namun, atas kuasa Allah, Nabi Muhammad diperlihatkan gambar Baitul
Maqdis di rumah ‘Aqil bin Abi Thalib. Rasulullah pun bisa menyebutkan jumlah
pintu itu.
Setelah penjelasan Rasulullah itu, tiba-tiba Abu Bakar berkata, “Benar
engkau ya Rasulullah! Engkau memang benar! Saya bersaksi bahwa engkau adalah
utusan Allah.”
“Wahai Muhammad, ceritakan tentang rombongan unta kami!” lanjut
orang-orang.
Rasulullah pun menjelaskan soal rombongan unta Bani Fulan yang beliau
jumpai saat Isra’ di daerah Rukha’ yang sempat kehilangan untanya.
Beliau juga jelaskan semangkuk air milik mereka yang beliau minum.
Beliau jelaskan unta-unta Bani Fulan itu; unta merah yang bermuatan karung
hitam dan putih, unta terdepan berwarna kelabu dengan garis hitam. Rasulullah
jelaskan pula bahwa rombongan unta itu tiba pada hari Rabu.
Orang-orang Quraisy kagum dengan apa yang baru saja Rasulullah
ceritakan. Tidak ada yang meleset sedikit pun. Meski begitu, tidak kemudian
mereka menyatakan beriman. Bahkan mereka yang kufur semakin kufur, tidak
percaya.
Peristiwa ini juga menjadi ujian keimanan bagi orang muslim; mereka yang
tulus beriman, semakin bertambah keimanannya. Sementara mereka yang masih lemah
iman, tidak sedikit menjadi kufur.[16]
[1] Muhammad Husen Haikal,
Hayatu Muhammad: 186
[2] Muhammad Husen Haikal,
Hayatu Muhammad, hal 187
[3] KH Zakky Mubarak,
Hari-hari Penuh Duka Menjelang Isra’ Mi’roj, (www.nu.or.id), diakses tanggal 04
September 2022.
[4] Safyurrahman
al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, (Muntada at-Tsaqafah), hlm. 103
[5] Safyurrahman
al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, hlm. 103
[6] Dr. Ali Muhammad
as-Shallabi, as-Sirah an-Nabawiyah ‘Ardlu Waqa’i wa Tahlil Ahdats, (Cetakan Dar
al-Fikr, Beirut), hlm. 226-227
[7] Dr Ali Muhammad
as-Shallabi, as-Sirah an-Nabawiyah ‘Ardlu Waqa’i wa Tahlil Ahdats, (Cetakan Dar
al-Fikr, Beirut), hlm. 227.
[8] Safyurrahman
al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, (Muntada at-Tsaqafah), hlm. 159.
[9] Muhammad Abror,
Rangkaian Isro Mi’roj yang Membentuk Karakter Nabi Muhamad, (www.nu.or.id),
diakses tanggal 4 September 2022.
[10] Yusuf Suharto,
Penglihatan Rasulullah Ketika Isra dan Miraj, mimpi atau kasat mata,
(www.nu.or.id), diakses tanggal 4 September 2022.
[11] Jalaluddin As-Suyuthi,
Al-Ayatul Kubra fi Syarhi Qisshatil Isra, (Kairo: Darul Hadits, 2002 M),
halaman 59
[12] M Alvin Nur Choironi,
Kenapa Isra dan Miraj Terjadi di Malam Hari?, (www.nu.or.id), diakses tanggal 4
September 2022.
[13] Fakhruddin
al-Razi, Mafatih
al-Ghaib, juz 20, hlm. 238
[14] Abi al-Faraj Nuruddin
‘Ali Burhan, Sirah al-Halbiyah, juz 1, hlm.
1-3.
[15] Muhammad
‘Alawi al-Maliki, al-Anwar al-Ilahiyyah fi
Isra’i wal Mi’raji Khairil Bariyyah (hlm. 79
[16] Muhammad Abror, Respon
Orang Arab Setelah Rasulullah Pulang Isra Mi’raj, (www.nu.or.id), diakses
tanggal 4 September 2022.
Komentar
Posting Komentar