Aqidatul Awam: (Bab 3) Sifat Wajib Rasul

 


﴿ الْبَابُ الثَّالِثُ

Sifat Wajib Rasul


أَرْسَـلَ أَنْبِيَا ذَوِي فَـطَـانَـهْ * بِالصِّـدْقِ وَالتَـبْلِـيْغِ وَاْلأَمَانَهْ

 Alloh telah mengutus para nabi yang memiliki 4 sifat yang wajib yaitu cerdas, jujur, menyampaikan (risalah) dan dipercaya

 

——— Penjelasan Nadhom –––

 

Orang mukalaf wajib mengetahui dan meyakini sifat wajib para rasul yang jumlahnya ada 4, yaitu:

1.    صِدْقٌ  (Jujur)

2.    اَمَانَةٌ  (Dipercaya)

3.    تَبْلِغٌ  (Menyampaikan)

4.    فَطَانَةٌ  (Cerdas)

Allah telah menganugerahkan kepada mereka empat sifat kesempurnaan yang wajib ada pada diri rasul, yaitu :

1.    صِدْقٌ  (Jujur)

Siddiq berarti benar dan perkataan dan perbuatan. Setiap rasul pasti jujur dalam ucapan dan perbuatannya. Apa-apa yang telah disampaikan kepada manusia baik berupa wahyu atau kabar harus sesuai dengan apa yang telah diterima dari Allah tidak boleh dilebihkan atau dikurangkan. Dalam arti lain apa yang disampaikan kepada manusia pasti benar adanya, karena memang bersumber dari Allah.[1]

2.    اَمَانَةٌ  (Dipercaya)

Amanah artinya terpercaya atau dapat dipercaya, baik dhahir atau bathin. Sedangkan yang dimaksud di sini bahwa setiap rasul adalah dapat dipercaya dalam setiap ucapan dan perbuatannya.[2]

Para rasul akan terjaga secara dhahir atau bathin dari melakukan perbuatan yang dilarang dalam agama, begitu pula hal yang melanggar etika.[3] Allah SWT berfirman dalam surah as Syuara’ayat 143;

.إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ

Artinya: “Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu,”

3.    تَبْلِغٌ  (Menyampaikan)

Tabligh adalah menyampaikan wahtu atau risalah dari Allah SWT kepada orang lain. Sudah menjadi kewajiban para rasul untuk menyampaikan kepada manusia apa yang diterima dari Allah berupa wahyu yang menyangkut di dalamnya hukum hukum agama.[4]

Allah SWT berfirman dalam surah al Ahzab ayat 39;

.الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالاَتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلاَ يَخْشَوْنَ أَحَداً إِلاَّ اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيباً

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.”

Sifat tabligh ini hanya ada pada diri rasul, sedang nabi (yang tidak bergelar rasul) tidak memilikinya lantaran seorang nabi diberi wahyu hanya untuk diperuntukkan bagi dirinya sendiri.[5]

4.    فَطَانَةٌ  (Cerdas)

Fathonah adalah cerdas, pandai atau pintar. Dalam menyampaikan risalah Allah, tentu dibutuhkan kemampuan, diplomasi, dan strategi khusus agar wahyu yang tersimpan didalamnya hukum hukum Allah dan risalah yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh manusia. Karena itu, seorang rasul wajib memiliki sifat cerdas.[6]

Kalau saja para rasul itu tidak sesuai dengan sifat-sifatnya maka mustahil manusia akan menerima dan mengakuinya. Sifat-sifat itu merupakan satu hujjah bagi mereka agar apa yang disampaikan bisa diterima dengan baik.

Allah SWT berfirman dalam surah al An’am ayat 83;

.وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ آتَيْنَاهَآ إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ

Artinya: “Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.”

 

Bagaimana cara wahyu diturunkan?

Nabi Muhammad SAW pertama kali menerima wahyu ketika usianya 40 tahun. Saat itu, beliau yang sedang berkhalwat atau bertahannus di Gua Hira menerima wahyu yang pertama, yaitu Al-Qur’an Surat al-Alaq ayat 1-5. Peristiwa itu sekaligus menjadi ‘tanda’ bahwa beliau sudah diangkat menjadi Nabi dan Rasul Allah.

Nabi Muhammad kemudian menerima wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril secara bertahap selama 23 tahun setelahnya (masa kenabian), atau hingga beliau wafat. Tidak hanya ayat-ayat Al-Qur’an, wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad juga berupa hadits-hadits qudsi. 

Lantas, bagaimana proses wahyu dari Allah tersebut sampai kepada Nabi Muhammad? Apakah caranya sama atau berbeda-beda? Dan bagaimana kondisi Nabi Muhammad ketika memperoleh wahyu dari Allah?

Merujuk buku Syakhshiyah Ar-Rasul (Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, 2008), ada beberapa cara wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad.

Pertama, Jibril mendatangi langsung Nabi Muhammad dalam bentuk laki-laki. Suatu ketika Jibril menemui Nabi Muhammad dengan mengenakan pakaian serba putih dan berambut hitam. Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang mengenalinya.

Jibril kemudian menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad dengan cara bercakap-cakap dengannya. Kadang kala, Jibril mendatangi Nabi Muhammad dengan menyerupai seorang sahabat yang bernama Dihyah al-Kalbi.

Kedua, wahyu turun kepada Nabi Muhammad seperti bunyi lonceng. Menurut Nabi Muhammad, cara itulah yang paling berat. Karena ketika wahyu turun dalam bentuk lonceng, Nabi Muhammad bisa berkeringat meski pada saat turunnya wahyu tersebut sedang musim dingin. Beliau juga sampai sesak nafas ketika wahyu turun dalam bentuk lonceng.

“Kadangkala ia (wahyu) datang dalam bentuk bunyi lonceng –ini yang paling berat bagiku- kemudian ia diangkat dariku setelah aku menyadari apa yang difirmankan,” kata Nabi Muhammad.

Ketiga, Jibril meniupkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad. Melalui cara ini, Nabi Muhammad tiba-tiba saja merasakan wahyu sudah ada di dalam hatinya, tentunya setelah Jibril memasukkannya ke dalam lubuknya. Di samping itu, wahyu diturunkan dengan cara Jibril menemui Nabi Muhammad dengan wujud aslinya, bukan menyamar menjadi seorang lelaki atau sahabat Dihyah al-Kalbi.

Turunnya wahyu adalah peristiwa yang dahsyat. Nabi Muhammad mengalami ‘hal yang tidak biasa’ saat wahyu turun. Sampai-sampai beliau menyatakan bahwa setiap kali menerima wahyu maka dirinya selalu menyangka rohnya hendak dicabut.

Lantas, bagaimana saja kondisi Nabi Muhammad ketika wahyu turun?

Setidaknya, Nabi Muhammad mengalami lima kondisi saat menerima wahyu. Pertama, wajahnya memerah. Saking dahsyatnya turunnya wahyu, wajah Nabi Muhammad sampai memerah.

Kedua, berkeringat. Seperti yang disinggung di atas, manakala wahyu turun dalam bentuk lonceng maka Nabi Muhammad bercucuran keringat meski turunnya saat musim dingin. 

Ketiga, sempoyongan. Turunnya wahyu juga membuat Nabi Muhammad sempoyongan, meski kesadaran dan kestabilan beliau tidak sampai hilang.

Keempat, tubuh Nabi Muhammad menjadi berat.

Kelima, Nabi Muhammad seperti mendengar suara gerombolan lebah. 

Begitulah cara wahyu diturunkan dan kondisi Nabi Muhammad saat menerimanya. Biasanya para sahabat mengerubungi Nabi Muhammad saat beliau mendapatkan wahyu. Nabi Muhammad kemudian menyampaikan wahyu yang baru saja diterimanya kepada mereka. Dan mereka kemudian menghafalnya.[7]

......................................



[1] Muhamad Nawawi al Bantani, Nurud Dholam syarah Aqidatil Awam, halaman 11.

[2] Thahir bin Muhammad Salih al Jazairy, Jawahirul Kalaimyah, hal. 30

[3] Muhamad Nawawi al Bantani, Nurud Dholam syarah Aqidatil Awam, halaman 11.

[4] Thahir bin Muhammad Salih al Jazairy, Jawahirul Kalaimyah, hal. 30

[5] Muhamad Nawawi al Bantani, Nurud Dholam syarah Aqidatil Awam, halaman 11.

[6] Thahir bin Muhammad Salih al Jazairy, Jawahirul Kalaimyah, hal. 30

[7] Muchlishon, Cara Wahyu Diturunkan dan Kondisi Nabi Muhamad Saat Menerimanya, (www.islam.nu.or.id), diakses tanggal 29 Agustus 2022.

 

Komentar