Aqidatul Awam: (Bab 4) Sifat Jaiz Rasul

 


﴿ الْبَابُ الرَّابِعُ

Sifat Jaiz Rasul


وَجَـائِزٌ فِي حَـقِّهِمْ مِنْ عَرَضِ * بِغَيْـرِ نَقْصٍ كَخَـفِيْفِ الْمَرَضِ

 Dan boleh didalam hak Rosul dari sifat manusia tanpa mengurangi derajatnya,misalnya sakit yang ringan

 

——— Penjelasan Nadhom –––

Semua orang mukalaf wajib mengetahui dan meyakini bahwa para rasul memiliki 1 sifat jaiz, yaitu para rasul bisa memiliki sifat-sifat yang menjadi sifatnya manusia biasa namun yang tidak sampai mengurangi derajat para rasul. Misalnya makan, tidur, minum, menikah, sakit, ringan dan semacamnya.

Allah telah mengutus para rasul kepada manusia dan telah dihiasi dengan sifat kesempurnaan melebihi makhluk Allah yang lain, namun mereka tidak akan terlepas dari fitrah kemanusian yang ada dalam dirinya.

Sifat para rasul Allah ini telah membuat mereka melakukan aktifitas sebagaimana manusia lainnya. Sudah tentu yang dimaksud di sini adalah prilaku dan sifat yang tidak mengurangi derajat kerasulan mereka di mata manusia.[1] Seperti makan, minum, tidur, kawin, istirahan, sakit yang ringan, pingsan, jalan ke pasar pasar, berniaga dan semacamnya.

Sedangkan prilaku dan sifat yang bisa merendahkan derajat kerasulan, mereka akan terpelihara dan dipelihara oleh Allah dan sudah pasti perilaku dan sifat itu tidak pernah dilakukannya. Dan inilah yang membedakan mereka dengan manusia yang lain.

Allah SWT berfirman dalam surah al Furqon ayat 20;

وَمَآ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلاَّ إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الأَسْوَاقِ

Artinya: ”Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”

.....................................

 

عِصْـمَـتُهُمْ كَسَائِرِ الْمَلاَئِكَهْ * وَاجِـبَـةٌ وَفَاضَلُوا الْمَـلاَئِكَهْ

 

Mereka mendapat penjagaan Alloh (dari perbuatan dosa) seperti para malaikat seluruhnya. (Penjagaan itu) wajib bahkan para Nabi lebih utama dari para malaikat

 

——— Penjelasan Nadhom –––

 

Setiap orang mukalaf wajib meyakini bahwa para nabi dan rasul ialah maksum (dijaga oleh Allah SWT) dari melakukan dosa. Sebagaimana Allah SWT menjaga para malaikat. Sedang pangkat para nabi dan rasul mengungguli para malaikat.

Setidaknya ada dua hikmah kemaksuman Nabi sebagaimana berikut. Hikmah pertama, kemaksuman menjadi bukti kenabian. Sebagai nabi, sebagaimana nabi pada umumnya, Nabi Muhammad SAW dijaga oleh Allah dari perbuatan-perbuatan buruk. Nabi SAW dijaga dari perbuatan maksiat, bahkan sejak sebelum diangkat menjadi seorang nabi.

Kemaksuman yang tidak dimiliki manusia pada umumnya ini merupakan bukti bahwa beliau adalah seorang nabi. Dalam Al-Qur’ana Allah berfirman:

 وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)  (النجم3-4)

Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS an-Najm: 3-4)

Hikmah kedua, track record atau rekam jejak seorang dai sangat berpengaruh dalam dakwahnya. Dr. Musthafa as-Shiba’i menegaskan, banyak orang berdakwah dan mengajak umat untuk memiliki budi pekerti baik, tetapi karena memiliki masa lalu kelam, akhirnya masyarakat berpaling dari ajakannya. Bahkan masa kelam yang pernah dilalui olehnya menimbulkan keraguan bagi masyarakat untuk menerima dakwahnya.[2]

Maksud as-Shiba’i, seorang dai yang mengajak pada kebaikan jika memiliki masa lalu kelam, bisa jadi ada saja orang yang tidak senang dengan dakwahnya, lalu mengungkit-ungkit masa lalunya. Sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat. Masa lalunya saja suram, bagaimana bisa mengajak orang lain pada kebaikan.

Nabi Muhammad SAW langsung dididik oleh Allah swt. Artinya, sebelum kelak terjun menyampaikan risalah mengajak pada kebaikan dan mencegah dari keburukan, Allah sudah siapkan segala hal yang akan mendukungnya. Termasuk agar kelak ketika berdakwah, beliau tidak dicela kafir karena punya masa lalu kelam.

Bisa jadi, kalau Nabi SAW tidak maksum, orang akan melakukan konspirasi menjatuhkan Nabi SAW dengan menyebarkan aib masa lalunya kelam, sehingga menimbulkan keraguan terhadap khalayak umum atas misi dakwah yang diembannya. Tapi, sungguh tidak ada celah untuk itu dalam diri Nabi SAW.[3]

........................................



[1] Muhamad Nawawi al Bantani, Nurud Dholam syarah Aqidatil Awam, halaman 11.

[2] As-Shiba’i, Sîratun Nabawiyyah, halaman 23

[3] Muhamad Abror, Hikmah Di Balik Kemaksuman Nabi, (www.islam.nu.or.id), diakses tanggal 29 Agustus 2022.

 

Komentar