﴿ الْبَابُ الْخَامِسُ ﴾
Sifat Muhal Allah Dan Rasul
وَالْمُسْـتَحِيْلُ ضِدُّ
كُلِّ وَاجِبِ * فَاحْفَظْ لِخَمْسِـيْنَ بِحُكْمٍ وَاجِبِ
Dan sifat mustahil adalah lawan dari sifat yang
wajib maka hafalkanlah 50 sifat itu sebagai ketentuan yang wajib
Penjelasan Nadhom
Sifat muhal atau mustahil Allah SWT ialah sifat yang tidak mungkin ada
pada dzat Allah.[1] Sifat
mustahil merupakan lawan dari sifat wajib yang dimiliki oleh-Nya. Itulah
mengapa sifat mustahil dan
sifat wajib Allah tersebut memiliki jumlah yang sama, yakni 20.
Berikut 20 sifat mustahil Allah SWT:
No |
Sifat |
Arti |
1 |
عَدَمْ |
tiada |
2 |
حُدُوثْ |
baru |
3 |
فَنَاءْ |
binasa |
4 |
مُمَاثَلَةٌ لِلْحَوَادِثِ |
menyerupai makhluk |
5 |
إِحْتِيَاجُ لِغَيْرِهِ |
memerlukan yang lain |
6 |
تَعَدُّدْ |
lebih dari satu |
7 |
عَجْزٌ |
lemah |
8 |
كَرَاهَة |
terpaksa |
9 |
جَهْلٌ |
bodoh |
10 |
مَوْتٌ |
mati |
11 |
صَمَمٌ |
tuli |
12 |
عَمَى |
buta |
13 |
بَكَمٌ |
bisu |
14 |
كَوْنُهُ عَاجِزًا |
keadaan lemah |
15 |
كَوْنُهُ كَارِهًا |
keadaan terpaksa |
16 |
كَوْنُهُ جَاهِلًا |
keadaan bodoh |
17 |
كَوْنُهُ مَيِّتًا |
keadaan mati |
18 |
كَوْنُهُ اَصَمَّى |
keadaan tuli |
19 |
كَوْنُهُ اَعْمَى |
keadaan buta |
20 |
كَوْنُهُ اَبْكَمَا |
keadaan bisu |
Adapun sifat mustahil bagi Rasul adalah sifat yang tidak mungkin ada
pada diri rasul. Sebab, Rasul adalah manusia pilihan Allah yang diberi tugas
untuk menyampaikan risalah-risalah-Nya untuk mengajak umat manusia beriman
kepada Allah SWT. Sifat mustahil bagi rasul ini ada empat yakni:
1. كَذِبٌ (bohong)
2. خِيَانَةْ (berkhianat)
3. كِتْمَانْ (menyembunyikan
wahyu)
4. بِلَادَةْ (bodoh)
Makna 'al-Ummi' pada Diri Nabi Muhammad
Kata “al-ummi” sangat populer di kalangan umat Islam termasuk di
Indonesia. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad SAW disebut “al-ummi”
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf Ayat 157.
Secara etimologis kata “al-ummi” berasal dari kata bahasa Arab “al-umm”
yang artinya “ibu” dalam bahasa Indonesia. Kata “al-ummi” sebetulnya memiliki
makna atau arti yang beragam, salah satunya adalah seseorang yang diasuh
sendiri oleh ibunya di rumah.
Sewaktu saya masih kecil dan duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, salah
seorang guru saya mengartikan “al-ummi” dengan “mbok-mboken” yang
maksudnya adalah serorang anak yang tidak mau lepas dari ibunya (sehingga tidak
pernah sekolah). Akibatnya sang anak menjadi buta huruf. Jadi jika kata
“al-ummi” langsung diartikan “buta huruf” itu sebetulnya ada satu proses logis
yang dilompati. Dalam kaitan dengan kata “al-ummi” yang dilekatkan kepada Nabi
Muhammad SAW, tentu ada hubungannya dengan keberadaan ibu beliau.
Dalam hal ini cinta sang ibu – Siti Aminah - kepada beliau begitu dalam.
Allah SWT juga sangat mencintai beliau sehingga tak seorang pun
manusia diberi-Nya kesempatan menyentuh pikiran beliau dengan mengajarkan
sesuatu melalui baca tulis. Oleh karena itu, banyak orang mengartikan kata
“al-ummi” dengan “orang yang buta huruf”.[2]
Pertanyaannya adalah, apakah Nabi Muhammad SAW benar-benar
buta huruf?
Jawabnya, sulit untuk menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW
benar-benar buta huruf, dalam arti tidak bisa membaca dan menulis sama sekali
sepanjang hidupnya sebab setelah turunnya Al Qur’an beliau pernah merevisi
rancangan Perjanjian Hudaibiyah yang draftnya ditulis oleh Sayyidina Ali bin
Abi Thalib.
Nabi SAW menghapus sendiri kata-kata “Rasulullah” dan menggantinya
dengan “Ibnu Abdillah” setelah Ali bin Abi Thalib menolak untuk melakukannya.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib hanya bersedia menunjukkan tempat kata-kata
“Rasulullah” saja.
Orang-orang Quraisy yang diwakili Suhail bin Amr merasa keberatan
dimasukkannya kata-kata “Rasulullah” ke dalam teks perjanjian tersebut dan
menuntut supaya diganti dengan “Ibnu Abdillah” karena mereka tidak mempercayai
kerasulan Muhammad. Tuntutan ini dipenuhi Nabi Muhammad SAW dengan
menghapus dan mengganti sendiri kata-kata itu dengan kata-kata “Ibnu Abdillah”.
Selain itu Nabi Muhammad SAW juga pernah mengatakan bahwa ada
tulisan كَافِر (kafir) di antara kedua mata
Dajjal sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Dalam riwayat Muslim,
Nabi bahkan mengeja kata كَافِر (kafir) itu dengan ك ف ر (k f r). Artinya ini menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad SAW pernah membaca karena mengeja itu bagian dari
membaca.
Namun demikian, merupakan kesalahan besar untuk mempercayai bahwa Nabi
Muhammad SAW pandai membaca dan menulis karena tidak ada bukti
empiris tentang hal ini. Dalam Al-Qur’an surah Al’Ankabut ditegaskan bahwa Nabi
Muhammad SAW tidak pernah membaca kitab apa pun atau menulisnya sebelum
Al-Qur’an diturunkan sebagaimana bunyi ayat 48 berikut ini:
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ ولا
تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ ۖ إِذًا لاَرْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
Artinya: “Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu
Kitab pun sebelum adanya Al-Qur’an dan engkau tidak (pernah) menulis suatu
Kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan
menulis), niscara ragu orang-orang yang mengingkarinya.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak
pernah membaca dan menulis sesuatu apa pun sebelum turunnya Al-Qur’an. Tetapi
setelah Al-Qur’an turun Nabi Muhammad SAW pernah suatu ketika menulis
kata-kata sebagaimna tertuang dalam teks Perjajian Hudaibiyah di atas. Selain
menulis, Nabi juga pernah membaca atau mengeja kata sebagaimana
diriwayatakan oleh Bukhari dan Muslim di atas.
Hikmah di balik fakta bahwa Nabi Muhammad tidak pernah membaca dan
menulis adalah bahwa hal itu merupakan bukti yang menegaskan bahwa Al-Qur’an
berasal dari Allah SWT dan bukan karya beliau. Semua
pengetahuan yang diperoleh Nabi Muhammad adalah intuisi (wahyu) dari Allah yang
tidak menuntut kemampuan membaca dan menulis.
Malaikat Jibril paling sering menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW
dengan metode pendengaran dengan mentransfer ayat-ayat Al-Qur’an secara
langsung ke dalam memori Nabi Muhammad SAW melalui pendengaran dan
hati beliau tanpa melibatkan kegiatan visual seperti membaca dan menulis.
Berdasarkan pada fakta-fakta di atas, beberapa cendekia kontemporer
kurang setuju jika hingga sekarang kata “al-ummi” yang melekat pada Nabi
Muhammad SAW masih diartikan ”buta huruf’. Sebagai gantinya mereka
mengusulkan arti atau makna yang lebih sesuai dengan konteks sekarang, yakni
“tidak bisa baca tulis” karena memang tidak pernah diajar guru manusia dengan
metode baca tulis.
Arti baru ini sejalan dengan apa yang disebutkan dalam Kamus
Al-Munawwir Arab - Indonesia, dimana kata “al-ummi” diartikan “Yang tak
dapat membaca dan menulis” dan bukan “buta huruf”.[3]
Rekontekstualisasi makna “al-ummi” di atas, menurut penulis, lebih baik
sebab di zaman sekarang “buta huruf” sudah identik dengan “bodoh” dan
“terbelakang”. Apalagi ada program pemerintah dan PBB untuk memberantas buta
huruf di seluruh negeri dan penjuru dunia. Oleh karena itu rekontekstualisasi
makna tersebut menjadi sangat penting untuk menjaga kebesaran dan kemuliaan
Nabi Muhammad SAW yang memang secara faktual memenuhi sifat-sifat wajib.[4]
...................................
[1] Thahir bin Muhammad Salih al Jazairy,
Jawahirul Kalaimyah, hal. 10.
[2] WJS
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (PN Balai Pustaka
Jakarta, tahun 1983), halaman 1124.
[3] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab – Indonesia, (Pustaka Progresif Yogyakarta,
1997), halaman 40
[4] Muhamad Ishom, Rekontekstualisasi Makna
‘al-Ummi’ pada Diri Muhamad, (www.jateng.nu.or.id), diakses tanggal 29 Agustus
2022.
Komentar
Posting Komentar