﴿ الْبَابُ التَّاسِعُ ﴾
Silsilah Nabi Muhamad SAW
خَاتِمَةٌ فِي ذِكْرِ بَاقِي
الْوَاجِبِ * مِمَّـا عَـلَى مُكَلَّفٍ مِنْ وَاجِبِ
Sebagai penutup untuk menerangkan ketetapan yang
wajib, dari hal yang menjadi kewajiban bagi mukallaf
Penjelasan Nadhom
Berikut ini penutup yang menerangkan hal yang wajib diyakini oleh orang
mukalaf.
.........................................
نَبِـيُّـنَا مُحَمَّدٌ قَدْ
أُرْسِــلاَ * لِلْـعَالَمِـيْـنَ رَحْـمَةً وَفُضِّلاَ
Nabi kita Muhammad telah diutus untuk seluruh
alam sebagai Rahmat dan keutamaan diberikan kepada beliau SAW melebihi semua
Penjelasan Nadhom
Kita wajib meyakini bahwa nabi Muhamad SAW diutus oleh Allah supaya
menyempaikan firman-firmanNya pada seluruh manusia dan jin serta para malaikat.
Dan nabi Muhamad SAW merupakan seorang nabi yang mengungguli nabi-nabi lainnya.
أَبـُوْهُ عَبْدُ اللهِ
عَبْدُ الْمُطَّلِـبْ * وَهَاشِـمٌ عَبْدُ مَنَافٍ يَنْتَسِـبْ
Ayahnya bernama Abdullah putera Abdul Mutthalib,
dan nasabnya bersambung kepada Hasyim putera Abdu Manaf
وَأُمُّـهُ آمِـنَةُ
الـزُّهْــرِيـَّهْ * أَرْضَـعَتْهُ حَلِيْمَـةُ السَّـعْدِيـَّهْ
Dan ibunya bernama Aminah Az-Zuhriyyah, yang
menyusui beliau adalah Halimah As-Sa’diyyah
Penjelasan Nadhom
Kita wajib mengetahui nasab-nasab nabi Muhamad SAW baik dari jalur ayah
maupun ibu beliau. Adapun nasab dari jalur ayah nabi yang wajib kita ketahui
ialah sampai sayid Adnan. Sedangkan yang dari jalur ibu wajib sampai sayid
Kilab.
Nabi Muhamad SAW ialah putra Abdullah bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin
Abdu Manaf bin Qusoy bin Kilab bin Murroh bin Ka’ab bin Lu’ay bin Gholib bin
Fihr bin Malik bin Nadhor bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin
Mudhor bin Nizar bin Mu’ad bin Adnan.
Perbedaan Penanggalan Kelahiran Nabi Muhammad
Dalam kalender Indonesia, setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal akan
diperingati sebagai hari maulid nabi/ kelahiran Nabi SAW. Akan
tetapi, tanggal tersebut tidak disepakati oleh keseluruhan ahli sejarah Islam.
Dalam Hadits Rasul SAW disebutkan, bahwa Nabi menghormati Hari Senin karena
hari itu Dia dilahirkan. Akan tetapi Muhammad Al-Baqir, cucu keturunan Nabi
SAW, menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW diahirkan pada hari jum’at.
Perbedaan lain adalah menyebutkan Nabi SAW lahir tanggal 2; tanggal 8;
tanggal 10; tanggal 12; tanggal 17; tanggal 18; hingga tanggal 21/22 Rabiul
Awal. Namun, pendapat yang mengatakan beliau lahir tanggal 18 atau 21 pendapat
yang paling tidak sahih. Pendapat yang mengatakan tanggal 12 Rabiul Awal adalah
pendapat paling masyhur (terkenal).
Oleh karennya jika ada orang memperdebatkan tentang kepastian kelahiran
Nabi SAW adalah sama mengulang perdebatan masa lalu yang tidak berujung. KH.
Bahaudin Nur Salim menyebut, kembali mempertanyakan kepastian kelahiran Nabi
SAW adalah sudah telat. Tidak ikut pendapat yang masyhur dan
lebih kuat akan lebih aman.[1]
........................................
مَوْلـِدُهُ بِمَـكَّـةَ
اْلأَمِيْــنَهْ * وَفَاتُـهُ بِـطَـيْـبَةَ الْـمَدِيْنَهْ
Lahirnya di Makkah yang aman, dan wafatnya di
Toiybah (Madinah)
Penjelasan Nadhom
Semua orang mukalaf wajib mengetahui dan meyakini bahwa nabi Muhamad SAW
dilahirkan di kota Mekah dan wafat serta dimakamkan di kota Madinah.
Dalam sebuah riwayat yang dicatat Imam Ibnu Hisyam dalam al-Sirah
al-Nabawiyyah dikatakan:
أَنَّ آمِنَةَ بِنْتَ وَهْبٍ أُمَّ رَسُولِ اللَّهِ
كَانَتْ تُحَدِّثُ: أَنَّهَا أُتِيَتْ، حِينَ حَمَلَتْ بِرَسُولِ اللَّهِ فَقِيلَ
لَهَا: إنَّكِ قَدْ حَمَلْتِ بِسَيِّدِ هَذِهِ الْأُمَّةِ، فَإِذَا وَقَعَ إلَى
الْأَرْضِ فَقُولِي: أُعِيذُهُ بِالْوَاحِدِ، مِنْ شَرِّ كُلِّ حَاسِدٍ، ثُمَّ
سَمِّيهِ مُحَمَّدًا.
“Sesungguhnya (Sayyidah) Aminah binti Wahab, Ibu Rasulullah SAW
menceritakan bahwa beliau didatangi seseorang (Malaikat) ketika mengandung
Rasulullah, kemudian dikatakan kepadanya: “Sesungguhnya engkau mengandung
pemimpin umat ini. Ketika dia lahir ke dunia ini, ucapkanlah: “Aku memohon
perlindungan untuknya pada yang Maha Esa dari keburukan setiap orang-orang yang
hasud, kemudian namai dia dengan nama Muhammad.”[2]
Menurut para ulama, tidak diketahui seorang pun dalam bangsa Arab yang
menggunakan nama ini sebelum Rasulullah SAW. Ketika Abdul Muttalib ditanya oleh
seseorang,“ma sammayta ibnâka?—akan kau namai apa cucumu?” Abdul
Muttalib menjawab: “Muhammadun.” Kemudian orang itu bertanya lagi:
كَيْفَ سَمَّيْتَ بِاسْمٍ
لَيْسَ لِأَحَدٍ مِنْ آبَائِكَ وَقَوْمِكَ؟ فَقَالَ: إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ
يَحْمَدَهُ أَهْلُ الْأَرْضِ كُلُّهُمْ
“Bagaimana bisa kau menamainya dengan nama yang tidak seorang pun dari
nenek moyang dan kaummu pernah menggunakannya?” Abdul Muttalib menjawab:
“Sesungguhnya aku mengharapkan seluruh penduduk bumi memujinya.”[3]
Setelah nama Muhammad sampai pada Sayyidah Aminah dan Abdul Muttalib,
Nabi Muhammad SAW lahir ke dunia ini di hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awwal,
tahun Gajah (‘âm al-fîl)—menurut pendapat yang masyhur.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dikatakan:
أَنَّ أَعْرَبِيًّا سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صلي الله
عليه وسلم عَنْ صِيَامِ يَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ
فِيْهِ, وَأُنْرِلَ عَلَيَّ فِيْهِ
“Seorang Arab Badui bertanya kepada Rasulullah SAW tentang puasa di hari
Senin, Rasulullah menjawab: “Itu adalah hari dimana aku dilahirkan, dan hari
dimana (wahyu) diturunkan kepadaku.” (HR. Imam Muslim)
Terjadi perbedaan pendapat tentang kapan Rasulullah SAW lahir. Namun
demikian, pendapat yang diketahui secara luas bahwa Rasulullah lahir di hari
Senin, tanggal 12 Rabiul Awwal, tahun Gajah.[4]
Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Ibnu Ishaq dari Sayyidina Ibnu
Abbas:
وُلِدَ رَسُولُ اللَّهِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ،
لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً خَلَتْ مِنْ شَهْرِ رَبِيع الْأَوَّلِ، عَام
الْفِيلِ
“Rasulullah dilahirkan di hari Senin, tanggal dua belas di malam yang
tenang pada bulan Rabiul Awwal, Tahun Gajah.”.[5]
Riwayat di atas diperkuat dengan perkataan Qays bin Makhramah ra yang
didapat dari kakeknya:
وُلِدْتُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ عَامَ الْفِيلِ
“Aku dan Rasulullah dilahirkan pada Tahun Gajah.” (HR. Imam Tirmidzi)
Dalam riwayat lain, ada juga yang menyebutkan bahwa Rasulullah
dilahirkan di bulan Ramadhan. Riwayat ini dikemukakan oleh ‘Uqbah bin Mukarram
yang mengatakan:
.....وُلِدَ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ
لِثَنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ..
“.....Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin tanggal dua belas di
malam hari yang tenang, bulan Ramadhan.....”[6]
Menurut Imam al-Dzahabi, riwayat di atas merupakan hadîts sâqith (hadits
yang gugur) dan tidak bisa dijadikan sandaran.
Di sisi lain, terdapat riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW
tidak dilahirkan di tahun Gajah, tepatnya beliau dilahirkan sebelum tahun
Gajah. Riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Shalih dari Sayyidina Ibnu Abbas yang
mengatakan:
وُلِدَ رَسُوْلُ اللهِ صلي الله عليه وسلم قَبْلَ
الْفِيْلِ بِخَمْسِ عَشْرَةَ سَنَّةً
“Rasulullah SAW dilahirkan sebelum tahun Gajah, sekitar lima belas tahun
sebelumnya.”[7]
Imam al-Dzahabi mengomentari riwayat ini dengan sangat keras. Dia
mengatakan: “qad taqaddama ma yubayyinu kadzba hadza al-qaul ‘an ibn ‘abbas
bi isnad shahih—sungguh telah dikemukakan sebelumnya, riwayat yang
menjelaskan kebohongan perkataan ini, yaitu riwayatIbnu Abbas dengan sanad yang
shahih.”[8]
Maksudnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Ishaq dari Sayyidina
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW lahir pada tanggal 12 Rabiul
Awwal di tahun Gajah. Riwayat itu menjadi bukti lemahnya riwayat yang
menyatakan Rasulullah lahir lima belas tahun sebelum tahun Gajah.[9]
& Kewafatan Nabi Muhamad SAW
Wafatnya Nabi dan Rasul Islam Muhammad (570 – 632) disebabkan oleh demam
tinggi menjelang usianya yang ke-63 tahun, yang beliau alami selama beberapa
bulan setelah kepulangannya dari Mekkah untuk melaksanakan ibadah Haji pertama
dan terakhirnya.
Di dalam ibadah Haji tersebut terdapat sebuah khotbah terkenal yang
disampaikan oleh Muhammad, yakni Khotbah Perpisahan, didalamnya berisi perintah
dan larangan dari Allah.
Untuk terakhir kalinya, nabi Muhammad mendapatkan wahyu melalui Malaikat
Jibril di tahun 632 yakni Surah Al-Ma'idah ayat 3 yang menyatakan bahwa Tuhan
telah meridoi Islam sebagai agama Muhammad dan sebagai agama yang sempurna dan
disempurnakan, serta pernyataan bahwa nikmat kehidupan yang diberikan Tuhan
kepada Muhammad telah dicukupkan.
Peristiwa tersebut terjadi dalam kejadian yang disebut Haji Perpisahan
(Haji Wada'). Sebelumnya Muhammad telah menaklukan seluruh Semenanjung Arabia,
dan menjadikannya sebagai negara di bawah pengaruh Islam.
Berkat adanya Pertempuran Hunain dan Ekspedisi Tabuk, nabi Muhammad
memperoleh kejayaannya dan memindahkan agama Semenanjung Arabia dari Yahudi,
Nasrani, dan Pagan menjadi Islam.
Rasulullah Saw telah kembali dari haji wada 'setelah Allah SWT memberi
dorongan firman-Nya,
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ. وَرَأَيْتَ
النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ
وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا.
Artinya: “Waktu telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
dan kamu manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha
Penerima Taubat.” (QS: An-Nashr | Ayat: 1-3).
Setelah itu, Rasulullah Saw mulai mengucapkan kalimat dan melakukan
sesuatu yang menyiratkan perpisahan. Beliau Rasulullah SAW bersabda pada haji
wada:
لِتَأْخُذُوْا عَنِّي مَنَاسِككُمْ لَعَلِّي لَا
أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِي هَذَا
“Pelajarilah dariku tata cara haji kalian, bisa jadi aku tidak berjumpa
lagi dengan kalian saat tahun ini.”[10]
Kemudian di Madinah, beliau berziarah ke makam baqi ', mendoakan
keluarga. Juga menziarahi dan mendoakan syuhada Perang Uhud. Ia juga berkhotbah
di hadapan para sahabatnya, berucap pesan seorang yang ingin wafat kepada yang
hidup.
Pada akhir bulan Shafar tahun 11 H, Nabi Muhammad mulai mengeluhkan
sakit kepala. Beliau merasakan sakit yang berat. Sepanjang hari-hari sakitnya
beliau banyak berwasiat :
Pertama: Beliau mewasiatkan agar
orang-orang musyrik dari Jazirah Arab Bertobat
Kedua: Berpesan untuk berpegang teguh dengan Alquran.
Ketiga: Pasukan Usamah bin Zaid inginnya tetap
diberangkatkan pada layar Romawi.
Keempat: Berwasiat agar berbuat baik
kepada orang-orang Anshar.
Kelima: Berwasiat agar menjaga shalat 5 waktu
Beliau mengecam dan melaknat orang-orang Yahudi yang menjadikan kuburan
para nabi sebagai masjid. Lalu beliau mengumumkan dan melarang kuburan beliau
menjadi berhala yang untuk disembah.
Di antara pesan beliau adalah agar orang-orang Yahudi dikeluarkan dari
Jazirah Arab.[11]
Beliau berpesan dalam dunia tentang gemerlapan dunia. Janganlah
berlomba-lomba dari dunia. Agar dunia tidak membuat binasa sebagaiman alam
sebelumnya binasa karena dunia.
Dalam keadaan sakit berat, beliau tetap menjaga adab terhadap
istri-istri, dan adil terhadap mereka. Nabi Muhammad meminta izin pada
istri-istri untuk tinggal di rumah Aisyah. Mereka pun mengizinkannya.
Karena sakit yang sangat berat, Nabi Muhammad Mengizinkan Abu Bakar
untuk mengimami Shalat terhadap masyarakat. Abu Bakar pun menjadi imam shalat
selama beberapa hari di masa Hidup Rasulullah.
Sehari sebelum wafat, beliau bersedekah beberapa dinar. Lalu bersabda,
لَا نُوْرثُ، مَا تَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ
“Kami (para nabi) tidak mewariskan. Apa yang kami berikan menjadi
sedekah. ”[12]
Pada hari senin, bulan Rabiul Awal tahun 11 H, Nabi Muhammad wafat. Hari
itu adalah waktu dhuha yang penuh kesedihan. Wafatnya manusia sayyidalat Adam.
Bumi orang yang paling mulia yang pernah menginjakkan kaki di atasnya.
Aisyah bercerita, “Ketika kepala beliau terbaring, tidur di atas pahaku,
beliau pingsan. Kemudian (saat tersadar) mengarahkan pandangannya ke atas,
seraya berucap, ' Allahumma ar-rafiq al-a'la '. ”[13]
Beliau memilih perjumpaan dengan Allah SWT diakhirat. Beliau wafat
setelah menyempurnakan risalah dan menyerahkan amanah.
Berita di pagi duka itu menyebar di antara para sahabat. Dunia terasa
gelap bagi mereka. mereka bersedih karena berpisah dengan Rasulullah. Hati
mereka bergoncang. Tidak percaya bahwa mereka memiliki tiada. Hingga di antara
mereka menyanggahnya. Umar angkat bicara, “Rasulullah tidak wafat. Beliau tidak
akan pergi kepada Allah, melambungkan orang-orang munafik. ”[14]
Abu Bakar hadir, "Duduklah Umar", perintah Abu Bakar pada
Umar. Namun Umar menolak duduk. Orang-orang mulai mengalihkan diri dari Umar
menuju Abu Bakar. Kata Abu Bakar, “Amma ba'du… siapa di antara kalian yang
menyembah Muhammad SAW, maka Muhammad telah wafat. Siapa yang menyembah Allah,
maka Allah Maha Hidup dan tidak akan wafat. Kemudian ia membacakan firman
Allah,
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُوْل قَدْ خَلَّتْ مِنْ
قَبْلِهِ الرُّسُل أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ الله شَيْئًا وَسَيَجْزِي
اللهُ الشَّاكِرِيْنَ
Artinya: “Muhammad itu tidak lain hanya rasul, benar-benar telah
menembak sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika Anda melakukan sesuatu
dengan memasukkan ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berputar ke belakang,
maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah
akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS: Ali
Imran | Ayat: 144).
Mendengar ayat yang dibacakan Abu Bakar, orang-orang seakan merasakan
ayat itu baru turun hari itu. Mereka sangat larut dalam kesedihan. Mereka dalam
keadaan kosong.
Bagaimana tidak, mereka ditinggal orang yang paling mereka cintai. Orang
yang mereka rindu untuk berjumpa setiap hari. Orang yang lebih mereka cintai
dari ayah, ibu, anak, dan semua manusia. Mereka lupa akan ayat itu. Dan mereka
diajarkan oleh Abu Bakar, seorang yang paling kuat di antara mereka.
Nabi Muhamad SAW wafat tanggal 8 Juni 632 M.
& Pemakaman
Rasulullah SAW Di Tunda 3 Hari
Mengurus jenazah adalah salah satu dari lima hal yang harus disegerakan.
Tapi, ternyata, Rasulullah SAW yang wafat pada hari senin dimakamkan terlambat.
Ulama ahli hadits dan sejarah berbeda pendapat mengenai waktu pemakaman
beliau. Ada yang mengatakan beliau dimakamkan pada hari selasa, ada pula yang
mengatakan bahwa beliau dimakamkan pada hari rabu.
Tapi, keterlambatan jenazah Rasulullah SAW untuk dimakamkan bukan karena
kesengajaan atau ketidakpeduliaan para sahabat. Bukan karena alasan itu. Beliau
tetap menjadi sosok yang sangat dicintai para sahabat dan seluruh umatnya.
Berikut alasan mengapa
pemakaman Rasulullah SAW terlambat:
1. Sahabat
menjaga urusan umat.
Para sahabat paham dan sadar bahwa wajib hukumnya hidup di bawah seorang
pemimpin yang akan mengurusi urusan umat. Para sahabat berijma’ (sepakat) bahwa
tidak boleh kaum muslim hidup tanpa ada seorang pemimpin lebih dari tiga hari.
Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Umar RA benar-benar menegaskan pentingnya
pembatasan waktu selama tiga hari untuk mengangkat khalifah dengan mengatakan,
“Jika saya meninggal maka bermusyawarahlah kalian selama tiga hari.
Hendaklah Suhaib yang mengimami shalat masyarakat. Tidaklah datang hari
keempat, kecuali kalian sudah harus memiliki amir (khalifah).”
Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,
“Para imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan
Ahmad) rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu, dan
bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan
menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim.
Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia,
tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.”
Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam As Shawa’iqul Muhriqah berkata,
“Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka-
telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya
zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban
paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan
meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.”
Memilih khalifah menjadi masalah paling penting, agar umat tetap bersatu
di bawah satu bendera Islam, juga memutus upaya setan untuk membuat perpecahan
di antara manusia, serta agar manusia tidak kosong dari seorang imam yang
menegakkan kebenaran.
2. Keinginan
seluruh sahabat untuk menshalati jenazah Rasulullah SAW dan perbedaan pendapat.
Seluruh sahabat berkeinginan agar dapat menshalati jenazah beliau. Semua
orang menshalati beliau, baik laki-laki, perempuan, orang tua, anak muda,
anak-anak.
Mereka shalat dengan cara berkelompok secara terpisah-pisah, tidak
diimami oleh seorang imam. Semuanya masuk ke kamar Rasulullah SAW dan mereka
shalat sendiri-sendiri. Hal ini membutuhkan waktu panjang agar semuanya
mendapatkan kemuliaan ini.
Ibnu Abi Syaibah dari Said bin Musayyab berkata,
“Ketika Rasulullah SAW wafat, (jasad beliau) diletakkan di atas
ranjangnya. Maka orang-orang masuk secara berombongan, mereka menshalatkan dan
keluar tanpa ada seorang pun yang menjadi imam.”[15]
Cara memandikan Rasulullah SAW, siapa yang memandikan, dimana
dimakamkan, terdapat perbedaan pendapat mengenai hal itu. Sehingga, semua itu
membutuhkan waktu yang lama dan pemakaman beliau menjadi sedikit diakhirkan.
3. Jasad
Rasulullah SAW tetap suci, tidak berubah, dan tidak ditimpa kerusakan.
Sebab dimakruhkannya mengakhirkan pengurusan jenazah adalah karena
khawatir terjadi perubahan pada mayat. Bila tidak ada sebab seperti itu dan
tidak khawatir terjadi perubahan seperti pada jasad Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka tidak dimakruhkan saat itu, karena memang ada keperluan
yang sangat penting untuk mengakhirkannya.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah RA dalam kisah wafatnya Nabi SAW,
beliau mengatakan, “Abu Bakar datang dan membuka (penutup wajah) Rasulullah SAW
dan berkata, ‘Demi ayah dan ibuku, sungguh engkau tetap harum sewaktu hidup
maupun mati…..”.[16]
Dari Ibnu Abbas RA berkata, “Ketika orang berkumpul untuk memandikan
Rasulullah SAW, di rumah tidak ada orang kecuali keluarganya, pamannya Abbas
bin Abdul Muthalib, Ali bin Abu Thalib, Fadl bin Abbas, Qadam bin Abbas, Usamah
bin Zaid bin Haritsah serta Shaleh budaknya.
Lebih dahulu Abbas, Fadl, dan Qadam membolak-balikkan bersama Ali bin
Abu Thalib. Sementara Usamah bin Zaid dan Shaleh budaknya menyiram air.
Sementara Ali memandikannya. Tidak didapati pada diri Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam sesuatu yang dilihat pada mayat lainnya. Beliau
mengatakan, ‘Demi ayah dan ibuku, alangkah harumnya anda (Rasulullah) waktu
hidup maupun meninggal dunia… sampai akhir hadits.”[17]
Kematian Rasulullah SAW sangat mengagetkan para sahabat mulia
radhiyallahu ‘anhum, hal itu sangat berat bagi mereka. Di antara para sahabat
ada yang terdiam membisu, ada yang terduduk, tidak mampu bergerak. Tidak ada
musibah yang dirasakan para sahabat yang lebih berat dari hari itu.
Anas bin Malik menggambarkan kondisi hari itu, “Aku tidak pernah melihat
suatu hari yang lebih baik dan lebih terang selain ketika hari saat Rasulullah
SAW masuk ke tempat kami. Dan tidak kulihat hari yang lebih buruk dan muram
selain ketika Rasulullah SAW meninggalkan dunia.”
Hampir akal dan hati mereka tidak sanggup menanggung beban musibah
tersebut. Bahkan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu sempat mengingkari
wafatnya Nabi SAW. Banyak yang tidak percaya tentang berita kematian Rasulullah
SAW hingga kemudian Abu Bakar berkata,
“Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya
Muhammad telah meninggal dunia. Tapi, barangsiapa di antara kalian menyembah
Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak meninggal. Allah
berfirman,
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh telah berlaku
sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kalian
berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia
tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”[18]
................................................
أَتَـمَّ قَـبْـلَ
الْـوَحْيِ أَرْبَعِيْنَا * وَعُـمْـرُهُ قَدْ جَاوَزَ السِّـتِّيْنَا
Sebelum turun wahyu, nabi Muhammad telah
sempurna berumur 40 tahun, dan usia beliau 60 tahun lebih
Penjelasan Nadhom
Nabi Muhamad SAW mulai menerima wahyu saat umurnya mencapai usia 40
tahun. Sedang umur nabi Muhamad SAW sampai usia 63 tahun.
& Wahyu Pertama
Syekh M Ali As-Shabuni bercerita bahwa Al-Qur’an pertama kali turun pada
tanggal 17 Ramadhan saat usia Rasulullah mencapai 40 tahun (sekitar 608-609 M).
Ketika Rasulullah sedang beruzlah di gua Hira (sekira 5 kilometer dari
Makkah), tiba-tiba Jibril datang membawa wahyu. Jibril memeluk dan melepaskan
Rasulullah SAW. Hal ini diulanginya sebanyak 3 kali. Setiap kali memeluk,
Jibril mengatakan, “Iqra’!” artinya “Bacalah.”
“Aku tidak mengenal bacaan,” jawab Rasulullah.
“Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq, khalaqal insana min alaq. Iqra wa
rabbukal akram. Alldzi allama bil qalam. Allamal bil qalam. Allamal insana ma
lam ya’lam,” kata Jibril pada kali ketiga membaca Surat Al-Alaq ayat 1-5.
Ini merupakan awal mula turun wahyu, awal mula turun Al-Qur’an. Sebelum
peristiwa agung ini terjadi, beberapa petunjuk mengisyaratkan semakin dekatnya
turun wahyu dan kenabian Rasulullah SAW. Sebagian tanda itu adalah mimpi
Rasulullah yang disusul dengan peristiwa nyata sesuai dengan mimpinya. Tanda
lainnya adalah kesenangan uzlah (menyepi) Rasulullah SAW menjelang turunnya
wahyu.[19]
Pandangan ini didukung oleh riwayat Imam Bukhari dari sayyidah Asiyah
RA. Bulan Ramadhan disebut secara harfiah sebagai turunnya Al-Qur’an pada Surat
Al-Baqarah ayat 185. Sedangkan malaikat yang turun membawa wahyu adalah Ruh
Amin atau Ruh Kudus yang disepakati sebagai Jibril oleh mufassirin sebagaimana
keterangan Surat As-Syu’ara ayat 193-195 dan Surat An-Nahl ayat 102.[20]
Sebagian ulama berpendapat bahwa wahyu yang pertama kali turun kepada
Nabi Muhammad SAW adalah Surat Al-Muddatstsir sebagaimana riwayat Bukhari dan
Muslim dari sahabat Jabir bin Abdullah.[21]
Pandangan kedua dapat dibantah bahwa pertanyaan yang diajukan kepada
Jabir bin Abdullah adalah surat Al-Qur’an secara lengkap yang pertama kali
turun, bukan ayat Al-Quran yang pertama kali turun.
Ketika ditanya surat yang pertama turun secara lengkap, Jabir RA
menyebut Surat Al-Muddatstsir sebagai surat Al-Quran pertama yang turun secara
utuh sebelum Surat Al-Alaq turun secara lengkap. Sedangkan Surat Al-Alaq turun
lebih awal meski hanya bagian pertamanya, Surat Al-Alaq ayat 1-5. [22]
Bantahan ini didukung oleh riwayat Jabir pada Bukhari dan Muslim yang
menyebutkan “masa fatrah wahyu.” Riwayat Jabir menunjukkan peristiwa pada
cerita Rasulullah ini terjadi setelah peristiwa di gua Hira. Dapat juga
dipahami bahwa Al-Muddatstsir adalah surat utuh Al-Qur’an yang pertama kali
turun pada masa fatrah turunnya wahyu.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa wahyu yang pertama kali turun
adalah Surat Al-Alaq ayat 1-5. Sedangkan surat utuh Al-Qur’an yang pertama kali
turun atau turun setelah masa fatrah wahyu adalah Surat Al-Muddatstsir.
Simpulan lainnya, wahyu yang pertama kali turun pada masa kerasulan adalah
Surat Al-Muddatstsir. Sedangkan wahyu yang pertama kali turun pada masa
kenabian adalah Surat Al-Alaq ayat 1-5.[23]
Sebagian ulama berpendapat, wahyu yang pertama kali turun adalah Surat
Al-Fatihah yang didukung riwayat munqathi. Bisa jadi yang dimaksud adalah surat
Al-Qur’an yang pertama kali turun secara sempurna. Sebagian ulama lainnya
berpendapat, wahyu yang pertama kali turun adalah basmalah (bismillahir
rahmanir rahim) karena basmalah merupakan awal setiap surat Al-Qur’an.
kedua pendapat terakhir, kata Al-Qaththan, didukung oleh hadits mursal.
Adapun pendapat yang kuat adalah pendapat pertama yang didukung oleh
riwayat Sayyidah Aisyah RA…Sedangkan pada hadits riwayat Sayyidah Aisyah RA dan
riwayat sahabat Jabir bin Abdullah RA tidak terdapat pertentangan. Peristiwa
Surat Al-Alaq di gua Hira terjadi yang kemudian disusul masa fatrah wahyu.
Setelah itu Surat Al-Muddatstsir turun menyusul Surat Al-Alaq.[24]
Imam Badruddin Az-Zarkasyi mengatakan, sebagian ulama mengambil
metode tariqatul jam’i antara hadits riwayat Sayyidah Aisyah RA dan
riwayat sahabat Jabir RA. Menurut mereka, sahabat Jabir hanya mendengar bagian
akhir cerita Rasulullah SAW perihal awal turunnya wahyu. Sahabat Jabir hanya
mendengar akhir cerita sehingga ia mengira bahwa wahyu yang pertama turun
adalah Surat Al-Muddatstsir.[25]
Sebagian ulama berargumentasi, wahyu pertama yang turun untuk menyatakan
risalah atau kerasulan adalah Surat Al-Muddatstsir. Sedangkan wahyu pertama
yang turun untuk menyatakan nubuwwah atau kenabian adalah Surat Al-Alaq.
Kalau kenabian merupakan wahyu yang ditujukan kepada seseorang melalui
malaikat untuk suatu taklif secara khusus, maka Surat Al-Muddatstsir
menunjukkan kerasulan Nabi Muhammad SAW, sebuah wahyu yang ditujukan kepada
seseorang melalui malaikat untuk suatu taklif secara umum.[26]
Imam As-Suyuthi mengatakan, ulama memang berbeda pendapat perihal wahyu
yang pertama kali turun. Tetapi ia mengatakan, pendapat yang sahih adalah
pendapat yang mengatakan Surat Al-Alaq sebagai wahyu yang pertama kali turun
sebagaimana riwayat Aisyah pada Sahih Bukhari, Muslim, Al-Hakim, dan
Al-Baihaki.
Pendapat yang sahih ini juga didukung oleh riwayat At-Thabarani dari Abu
Musa Al-Asy’ari, Kitab Sunan Said bin Mashur dari Ubaid bin Umair, Abu
Ubaid dalam Kitab Fadhailul Qur’an dari Mujahid, Ibnu Astah dalam Kitabul
Mashahif dari Ubaid bin Umair, dan dari Az-Zuhri.[27]
Kajian awal wahyu yang pertama kali turun ini berbasis pada riwayat,
atsar, manqul, atau tauqif sehingga tidak ada ruang interpretasi akal atau
ijtihad selain menempuh metode tarjih sejumlah dalil atau metode jam’i antara
dua dalil yang tampaknya kontradiktif/ta’arudh.[28]
Kajian dan perhatian khusus pada masalah ini bertujuan untuk memahami
nasikh-mansukh terkait beberapa ayat yang berbicara satu isu tertentu, memahami
sejarah legislasi hukum agama (tarikh tasyri al-islami) berikut pendekatan
hukum yang bertahap (tadriji) serta tujuan/hikmah yang hendak dicapai di balik
itu, menjauhkan mereka dari pelarian baik dalam meruntuhkan kebatilan yang
mereka (jahiliyah) lakukan maupun menegakkan kebenaran yang belum mereka capai.[29]
Kajian ini juga bertujuan untuk menyatakan perhatian besar terkai
cakupan Al-Qur’an sehingga awal dan akhir wahyu dapat diketahui sebagaimana
juga ayat makkiyyah dan madaniyyah, ayat mukim dan ayat perjalanan, serta
kategori lainnya dapat diketahui secara pasti tanpa ragu. Semua ini menunjukkan
bahwa Al-Qur’an terbebas dari penggantian dan perubahan sebagaimana Surat Yunus
ayat 64.[30]
..........................................
[1] Alhafiz Kurniawan, 5 Keistimewaan Nabi
Muhamad SAW yang Tak Dimiliki Nabi Lainnya, (www.islam.nu.or.id), diakses
tanggal 2 September 2022.
[2] Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Beirut:
Darul Kutub al-A’rabiy, 1990), juz 1, hlm 180.
[3] Abdurrahman al-Suhaili, al-Raudl al-Unuf fi
Syarh al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyam, (Beirut: Darul Kutub
al-Islamiyyah), juz 2, hlm 150-151
[4] Izuddin bin Badruddin
al-Kinani, al-Mukhtashar al-Kabir fi Sirah al-Rasul, (Amman: Darul Basyir,
1993), hlm 22.
[5] Ibnu Hisyam, al-Sirah
al-Nabawiyyah, (Beirut: Darul Kutub al-A’rabiy, 1990), juz 1, hlm 183.
[6] Muhammad bin Ahmad
al-Dzahabi, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah,
tt), hlm 6.
[7] Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, al-Sirah
al-Nabawiyyah, (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, tt), hlm 6
[8] Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, al-Sirah
al-Nabawiyyah, hlm 6
[9] Muhammad Afiq Zahara, Sekilas Sejarah
Kelahiran Nabi Muhamad, (www.islam.nu.or.id), diakses tanggal 2 September 2022.
[10] HR. Al-Bukhari, 4430
[11] Musnad Imam Ahmad , 1/195
[12] HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari , 12/8 No.
6730
[13] HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari , 8/150 No.
4463
[14] Ibnu Hajar, Fathul Bari , 8/146
[15] Ibnu Abi Syaibah,
Al-Mushannaf, 7/430
[16] Shahih Bukhori no. 3667.
[17] HR. Ahmad di musnad, 4/187. Para peneliti di
percetakan Muassasah Ar-Risalah mengatakan, Hasan lighoirihi. Silahkan lihat
kitab Al-Khosois Al-Kubro, 2/469-492
[18] Pemakaman Rasulullah Ditunda 3 Hari?,
(www.darunnajah.com), diakses tanggal 2 September 2022.
[19] M Ali As-Shabuni,
At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, [tanpa kota, Darul Mawahib Al-Islamiyyah:
2016], halaman 14-15.
[20] M Ali As-Shabuni,
At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, halaman 15-16.
[21] Manna’ Al-Qaththan,
Mabahits fi Ulumil Qur’an, [tanpa kota, Darul Ilmi wal Iman: tanpa
tahun], halaman 62.
[22] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil
Qur’an, halaman 62.
[23] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil
Qur’an, halaman 62-63
[24] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil
Qur’an, [tanpa kota, Darul Ilmi wal Iman: tanpa tahun], halaman 63.
[25] Badruddin
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadis: 2018 M/1440
H], halaman 144
[26] Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil
Qur’an, [Kairo, Darul Hadis: 2018 M/1440 H], halaman 145.
[27] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil
Qur’an, [Kairo, Darul Hadits: 2006 M/1427 H], juz I, halaman 95-96
[28] M Abdul Azhim
Az-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadits: 2017 M/1438
H], halaman 77
[29] M Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahilul Irfan fi
Ulumil Qur’an, halaman 77
[30] Alhafiz Kurniawan, Sejarah Nuzulul Qur’an,
(www.islam.nu.or.id), diakses tanggal 3 September 2022.
Komentar
Posting Komentar